Jumat, 30 Desember 2011

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada hari Ibu, saya membaca sebuah status facebook seorang ikhwah (semoga Allah memberkahinya) yang berisi tentang ajakan yang sangat baik yaitu berbakti kepada ibu setiap hari, tanpa mengkhususkan satu hari saja. Berbakti kepada ibu, tidak mesti mengucapkan Selamat Hari Ibu pada tgl 22 Des, tetapi dengan berkata2 lembut, bersikap santun, memenuhi harapannya, dan sebagainya.

 Saya sangat setuju dengan pernyataan ikhwah tsb. Namun ada hal yang menarik yang ditulis olehnya di dalam teks status itu. Di bagian tengahnya, dia menyetarakan ucapan valentine dengan ucapan hari ibu, keduanya tidak ada dalam islam.


kurang lebih tertulis seperti ini,
"Lagipula, seperti hari valentine dan hari2 lainnya,peringa
tan hari ibu jg sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. peringatan hari tertentu adalah berasal dari kaum kufar, sehingga kita tidak boleh mengikutinya, sebagaimana sabda Rasulullah, 'Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.' HR. Ahmad dan Abu Daud"
Apa yang dia katakan ini benar dan saya sangat suka, kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya saat memmbacanya ulang. Apakah saat kita mengucapkan Selamat Hari Ibu atau merayakannya (misal dengan memberi hadiah kepada ibu) merupakan hal yang dimaksud dalam hadist itu, apakah berarti kita telah mengikuti suatu kaum? Lalu apakah perayaan hari ibu sama dengan valentine?

kedua pertanyaan ini membuat saya mencari tahu apakah sebenarnya patokan dari yang kita sebut "menyerupai suatu kaum". Alhamdulillah, dapat referensi mengenai hal ini.

dari
Forum Tanya Jawab dengan Syaikh Muhammad Saalih Al-Munajid, guru besar di Riyadh, Saudi Arabia.
di http://islamqa.info/id/ref/21694. Ana Copy-paste di bawah ya..


****
Apa batasan menyerupai dengan orang barat? Apakah setiap apa yang baru dan datang kepada kami dari barat termasuk menyerupai dengan mereka? Dalam pengertian lain, bagaimana kami dapat menghukumi sesuatu bahwa ia adalah haram karena menyerupai dengan orang kafir?

Alhamdulillah
Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, 
 
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud, Al-Libas, 3512. Al-Albany berkata dalam Shahih Abu Dawud, Hasan Shahih no. 3401)
 
Al-Manawi dan Al-Alqomi berkata, "Yakni dalam penampilannya memakai pakaian seperti pakaian mereka, mengikuti cara jalan, tata cara dalam pakaian dan sebagian prilaku mereka."
Al-Qori mengatakan, "Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik, pelaku dosa dan orang sufi serta orang saleh dan baik  (maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di kitab Ash-Shiratal Mustaqim, "Imam Ahmad dan ulama lainnya telah berdalil dengan hadits ini. Hadits ini, minimal kondisinya adalah mencakup pengharaman menyerupai mereka sebagaimana dalam Firman-Nya, "Barangsiapa di antara kamu semua yang mengambil penolong dari kalangan mereka, maka dia termasuk di dalamnya." Hal ini seperti ucapan Abdullah bin Amr beliau berkata, "Barangsiapa yang membangun di tanah orang musyrik dan membuat perayaan dan hari raya mereka serta menyerupai mereka sampai dia meninggal dunia, maka akan dikumpukan bersama mereka pada hari kiamat." Hal ini bisa jadi karena menyerupai secara mutlak, karena hal itu mengharuskan kepada kekafiran. Ada kemungkinan juga pengharaman pada sebagian itu. Ada kemungkinan sesuai sisi kesamaannya. Kalau itu berbentuk kekufuran, kemaksiatan atau syiar baginya, maka hukumnya sama seperti itu."
Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau melarang menyerupai orang asing. Dan beliau berkata, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk di dalamnya. Hal ini disebutkan oleh Qodhi Abu Ya’la. Dan hal ini telah dijadikan dalil tidak hanya satu dari kalangan para ulama memakruhkan sesuatu dari pakaian orang non muslim."
(Silahkan lihat kitab Aunul Ma’bud Syarkh Sunan Abi Daud)

Penyerupaan dengan orang kafir ada dua bagian
Penyerupaan yang diharamkan dan penyerupaan yang mubah

Bagian pertama: Penyerupaan yang diharamkan yaitu prilaku yang menjadi ciri khusus agama orang kafir padahal dia telah mengetahuinya dan tidak ada dalam agama kita. Hal ini diharamkan, bisa jadi termasuk dosa besar. Bahkan sebagiannya bisa mengarah kepada kekufuran sesuai dengan dalilnya. Apakah hal tersebut dilakukan oleh seseorang sesuai dengan orang kafir atau karena syahwat atau syubhat dalam pandangannya hal tersebut akan bermanfaat di dunia dan akhirat.
Kalau dikatakan, orang yang melakukan prilaku ini sementara dia tidak tahu, apakah dia berdosa juga seperti orang yang merayakan hari kelahiran?
Jawabannya adalah orang yang tidak tahu tidak berdosa karena ketidaktahuannya. Akan tetapi dia hendaknya diberitahu, kalau dia tetap melakukannya. Maka dia berdosa.
Bagian kedua: Menyerupai yang dibolehkan, yaitu prilaku yang asalnya tidak diambil dari orang kafir. Akan tetapi orang kafir melakukannya juga. Hal ini tidak dilarang menyerupainya akan tetapi dia  boleh jadi, dia tidak mendapatkan manfaat berbeda (dari orang kafir).
Menyerupai ahli kitab dan lainnya dalam masalah dunia tidak dibolehkan kecuali dengan syarat,
  1. Hendaknya hal ini bukan termasuk kebiasan dan syiar yang membedakan mereka (dengan lainnya)
  2. Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka yang ditetapkan dengan data yang valid. Seperti apa yang telah diberitakan Allah kepada kita dalam kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya atau dengan menukil secara mutawatir seperti sujud penghormatan yang dibolehkan pada umat terdahulu.
  3. Tidak ada dalam agama kita penjelasan khusus akan hal itu. kalau ada penjelasan khusus dengan penyamaan atau perbedaan. Maka cukup hal itu dari penjelasan yang ada di agama kita
  4. Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus ke masalah syariat
  5. Penyerupaan tidak pada perayaan mereka
  6. Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang diinginkan dan menambahinya


Silahkan lihat kitab As-Sunan Wal Atsar Fin Nahyi An At-Tasyabbuh Bil Kuffar, karangan Suhail Hasan hal. 58-59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar