Jumat, 30 Desember 2011

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada hari Ibu, saya membaca sebuah status facebook seorang ikhwah (semoga Allah memberkahinya) yang berisi tentang ajakan yang sangat baik yaitu berbakti kepada ibu setiap hari, tanpa mengkhususkan satu hari saja. Berbakti kepada ibu, tidak mesti mengucapkan Selamat Hari Ibu pada tgl 22 Des, tetapi dengan berkata2 lembut, bersikap santun, memenuhi harapannya, dan sebagainya.

 Saya sangat setuju dengan pernyataan ikhwah tsb. Namun ada hal yang menarik yang ditulis olehnya di dalam teks status itu. Di bagian tengahnya, dia menyetarakan ucapan valentine dengan ucapan hari ibu, keduanya tidak ada dalam islam.


kurang lebih tertulis seperti ini,
"Lagipula, seperti hari valentine dan hari2 lainnya,peringa
tan hari ibu jg sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. peringatan hari tertentu adalah berasal dari kaum kufar, sehingga kita tidak boleh mengikutinya, sebagaimana sabda Rasulullah, 'Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.' HR. Ahmad dan Abu Daud"
Apa yang dia katakan ini benar dan saya sangat suka, kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya saat memmbacanya ulang. Apakah saat kita mengucapkan Selamat Hari Ibu atau merayakannya (misal dengan memberi hadiah kepada ibu) merupakan hal yang dimaksud dalam hadist itu, apakah berarti kita telah mengikuti suatu kaum? Lalu apakah perayaan hari ibu sama dengan valentine?

kedua pertanyaan ini membuat saya mencari tahu apakah sebenarnya patokan dari yang kita sebut "menyerupai suatu kaum". Alhamdulillah, dapat referensi mengenai hal ini.

dari
Forum Tanya Jawab dengan Syaikh Muhammad Saalih Al-Munajid, guru besar di Riyadh, Saudi Arabia.
di http://islamqa.info/id/ref/21694. Ana Copy-paste di bawah ya..


****
Apa batasan menyerupai dengan orang barat? Apakah setiap apa yang baru dan datang kepada kami dari barat termasuk menyerupai dengan mereka? Dalam pengertian lain, bagaimana kami dapat menghukumi sesuatu bahwa ia adalah haram karena menyerupai dengan orang kafir?

Alhamdulillah
Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, 
 
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud, Al-Libas, 3512. Al-Albany berkata dalam Shahih Abu Dawud, Hasan Shahih no. 3401)
 
Al-Manawi dan Al-Alqomi berkata, "Yakni dalam penampilannya memakai pakaian seperti pakaian mereka, mengikuti cara jalan, tata cara dalam pakaian dan sebagian prilaku mereka."
Al-Qori mengatakan, "Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik, pelaku dosa dan orang sufi serta orang saleh dan baik  (maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di kitab Ash-Shiratal Mustaqim, "Imam Ahmad dan ulama lainnya telah berdalil dengan hadits ini. Hadits ini, minimal kondisinya adalah mencakup pengharaman menyerupai mereka sebagaimana dalam Firman-Nya, "Barangsiapa di antara kamu semua yang mengambil penolong dari kalangan mereka, maka dia termasuk di dalamnya." Hal ini seperti ucapan Abdullah bin Amr beliau berkata, "Barangsiapa yang membangun di tanah orang musyrik dan membuat perayaan dan hari raya mereka serta menyerupai mereka sampai dia meninggal dunia, maka akan dikumpukan bersama mereka pada hari kiamat." Hal ini bisa jadi karena menyerupai secara mutlak, karena hal itu mengharuskan kepada kekafiran. Ada kemungkinan juga pengharaman pada sebagian itu. Ada kemungkinan sesuai sisi kesamaannya. Kalau itu berbentuk kekufuran, kemaksiatan atau syiar baginya, maka hukumnya sama seperti itu."
Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau melarang menyerupai orang asing. Dan beliau berkata, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk di dalamnya. Hal ini disebutkan oleh Qodhi Abu Ya’la. Dan hal ini telah dijadikan dalil tidak hanya satu dari kalangan para ulama memakruhkan sesuatu dari pakaian orang non muslim."
(Silahkan lihat kitab Aunul Ma’bud Syarkh Sunan Abi Daud)

Penyerupaan dengan orang kafir ada dua bagian
Penyerupaan yang diharamkan dan penyerupaan yang mubah

Bagian pertama: Penyerupaan yang diharamkan yaitu prilaku yang menjadi ciri khusus agama orang kafir padahal dia telah mengetahuinya dan tidak ada dalam agama kita. Hal ini diharamkan, bisa jadi termasuk dosa besar. Bahkan sebagiannya bisa mengarah kepada kekufuran sesuai dengan dalilnya. Apakah hal tersebut dilakukan oleh seseorang sesuai dengan orang kafir atau karena syahwat atau syubhat dalam pandangannya hal tersebut akan bermanfaat di dunia dan akhirat.
Kalau dikatakan, orang yang melakukan prilaku ini sementara dia tidak tahu, apakah dia berdosa juga seperti orang yang merayakan hari kelahiran?
Jawabannya adalah orang yang tidak tahu tidak berdosa karena ketidaktahuannya. Akan tetapi dia hendaknya diberitahu, kalau dia tetap melakukannya. Maka dia berdosa.
Bagian kedua: Menyerupai yang dibolehkan, yaitu prilaku yang asalnya tidak diambil dari orang kafir. Akan tetapi orang kafir melakukannya juga. Hal ini tidak dilarang menyerupainya akan tetapi dia  boleh jadi, dia tidak mendapatkan manfaat berbeda (dari orang kafir).
Menyerupai ahli kitab dan lainnya dalam masalah dunia tidak dibolehkan kecuali dengan syarat,
  1. Hendaknya hal ini bukan termasuk kebiasan dan syiar yang membedakan mereka (dengan lainnya)
  2. Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka yang ditetapkan dengan data yang valid. Seperti apa yang telah diberitakan Allah kepada kita dalam kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya atau dengan menukil secara mutawatir seperti sujud penghormatan yang dibolehkan pada umat terdahulu.
  3. Tidak ada dalam agama kita penjelasan khusus akan hal itu. kalau ada penjelasan khusus dengan penyamaan atau perbedaan. Maka cukup hal itu dari penjelasan yang ada di agama kita
  4. Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus ke masalah syariat
  5. Penyerupaan tidak pada perayaan mereka
  6. Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang diinginkan dan menambahinya


Silahkan lihat kitab As-Sunan Wal Atsar Fin Nahyi An At-Tasyabbuh Bil Kuffar, karangan Suhail Hasan hal. 58-59.

Senin, 19 Desember 2011

Belakangan ini, aku merasakan begitu nikmat mengucap lafaz Allah hingga secara tak sadar kerinduanku kepada Dia, Sang Khalik, menbuncah. Ditambah melihat dunia yang begitu hina, aku semakin ingin kembali kepada kesucian sebagaimana awal kami diciptakan. Bukan, perasaan ini bukan karena aku ingin menghindari masalah-masalah dan semua hal di dunia. Tapi sungguh, aku merasakan ada perasaan lebih besar dari sebelumnya, aku mencintai dan merindukan Tuhanku.

Ya Allah, Rabbana.. perasaan apa ini. Semoga merupakan karunia dari-Mu, yaitu pertambahan iman. Jika memang begitu, hamba mohon kuatkan iman di hati hamba, tambahkan, lalu sempurnakan ya Rahman.  Ya Allah, hamba begitu takut kembali kepada-Mu dalam keadaan kotor, dengan banyak dosa. Begitu banyak waktu hamba terbuang dengan kesia-siaan dan maksiat. Ampuni hamba ya Rabb. Hamba sungguh tidak sanggup bila harus mendapat siksa-Mu. Membayangkannya saja hamba sudah sangat takut.

Saat ini hamba berpeluh air mata.. semua karena hamba begitu takut dan cemas akan azab-Mu. Ampuni hamba ya Rabb. Jika memang waktunya bagi ruhku keluar dari jasad ini, keluarkan dengan cara yang lembut dan baik ya Malik. Mudahkan bagi hamba menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikatmu di dalam kubur, lapangkan dan terangi tempat persinggahan sementara itu, serta tidurkan hamba dalam keadaan yang baik. Hamba mohon kabulkan ya Allah.. Kemudian, bangkitkan hamba dalam keadaan yang baik dan sungguh hamba tidak ingin aurat hamba terlihat. Sebagai balasan hamba selama ini telah berusaha menutupi aurat hamba, jadi hamba mohon segera tutupi tubuh hamba setelah dibangkitkan. Bariskan hamba bersama orang-orang beriman di barisan Rasulullah saw. Izinkan hamba mengenali, menghampiri, lalu menciumnya sebagai pengakuan bahwa hamba adalah orang yang selama ini berusaha mengikuti sunnahnya dan kemudian mendapat syafaatnya. Mudahkan bagi hamba melewati sidhratulmuntaha, kemudian dengan keberkahan-Mu, selamatkan hamba di hari penghisaban itu. Sungguh, Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang

Ya Rabb, hamba bukan siapa-sapa. Hamba sungguh malu kepada-Mu, hamba tidak memiliki amalan khusus yang kuat dan bisa hamba banggakan. Sehingga hanya belas kasihan-Mu yang bisa menyelamatkan hamba. Hanya bermodalkan kalimat syahadat dan keteguhan memegangnya, masukkan hamba ke dalam surga atas rahmat-Mu.Ya Allah, hamba memohon agar hamba menjadi seorang yang syahid di jalanmu sebagai cara terbaik kembali kepada-Mu.

Amiin


Last Breath by Ahmed Bukhatir

From those around I hear a Cry,
A muffled sob, a Hopeless sigh,
I hear their footsteps leaving slow,
And then I know my soul must Fly!
A chilly wind begins to blow,
Within my soul, from Head to Toe,
And then, Last Breath escapes my lips,
It's Time to leave. And I must Go!
So, it is True (But it's too Late)
They said: Each soul has its Given Date,
When it must leave its body's core,
And meet with its Eternal Fate.
Oh mark the words that I do say,

Who knows? Tomorrow could be your Day,
At last, it comes to Heaven or Hell
Decide which now, Do NOT delay!
Come on my brothers let us pray
Decide which now, Do NOT delay!
Oh God! Oh God! I cannot see!
My eyes are Blind! Am I still Me
Or has my soul been led astray,
And forced to pay a Priceless Fee
Alas to Dust we all return,
Some shall rejoice, while others burn,
If only I knew that before
The line grew short, and came my Turn!
And now, as beneath the sod
They lay me (with my record flawed),
They cry, not knowing I cry worse,
For, they go home, I face my God!
Oh mark the words that I do say,
Who knows, Tomorrow could be your Day,
At last, it comes to Heaven or Hell
Decide which now, Do NOT delay !
Come on my brothers let's pray
Decide which now, do not delay ....


Courtesy of
Bukhatir.org

All rights reserved © Ahmed Bukhatir's site... Tune Of Life



Learn Arabic Contact Us About Us





Kamis, 15 Desember 2011

“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.(1)Pemimpin yang adil, (2) Seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Rabbnya, (3) Seorang yang hatinya selalu terikat pada masjid, (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berkumpul dan berpisah karena Allah pula, (5) Seorang lelaki yang di ajak zina oleh wanita yang kaya dan cantik tapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’, (6) Seseorang yang bersedekah dengan menyembuyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinfaqkan oleh tangan kanannya, serta (7) Seorang yang berzikir kepada Allah di kala sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (HR. Bukhari)

Selasa, 06 Desember 2011

Aku mencintaimu, tapi aku lebih takut kepada Allah

Ada sebuah kisah cinta yang entah ini benar atau tidak. Kisah cinta yang cukup mengharukan dan menginspirasi. Ujian manusia bisa datang dalam berbagai bentuk. Ada kalanya ujian itu berbentuk sebuah gejolak jiwa yang bernama "cinta". Allah hendak menguji hati-hati yang dilanda cinta, apakah cintanya kepada Allah jauh lebih besar ketimbang cinta yang saat ini dia rasakan. Sama seperti ujian yang lain, ujian cinta pun tidak kalah hebatnya, bahkan orang yang taat beribadah atau berilmu pun bisa tergelincir ke jurang dosa karenanya. Naudzubillah. Cinta adalah urusan hati dan hanya sedikit menyangkut akal manusia. Oleh karena itu, ia tidak mengenal logika dan mampu menguasai manusia, menjadikan jiwa mereka tidak tenang saat dihantam ombak ujian cinta.

Berikut kisahnya.

Al Mubarrid menuturkan dari Abu Kamil, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Raj' bin Amru An Nakha, menceritakan:
Di kota Kuffah ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari ia singgah di suatu kaum dai An Nakha. Di sana pandangannya berpapasan dengan seorang gadis cantik jelita dari kaum itu. Ia langsung jatuh cinta kepada gadis tersebut dan berniat untuk memilikinya. Dia pun singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan lamaran kepada bapak si gadis. Namun, ternyata si bapak memberi jawaban yang mengecewakan. Rupanya gadis tersebut sudah dilamar oleh anak pamannya sendiri. Pemuda ini pun tidak melanjutkan lamarannya.

Hari-hari berlalu setelah penolakan lamaran itu, tapi keduanya tidak bisa melupakan satu sama lain. Pemuda itu masih mencintai si gadis dan sering memikirkannya, begitu pula dengan si gadis. Tatkala keduanya semakin didera cinta, si gadis mengirim utusan kepada pemuda itu untuk mengatakan, " Saya sudah mendengar tentang besarnya rasa cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika engkau mau, maka aku bisa menemuimu, atau jika engkau mau maka saya bisa mengatur cara agar engkau bisa masuk ke dalam rumahku."

Sang pemuda membalas pernyataan dari si gadis melalui utusan itu pula, "Tidak ada pilihan di antara dua hal yang dicintai ini. Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Rabbku. Sungguh aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya."

Setelah utusan menyampaikan perkataan pemuda, maka si gadis bertanya-tanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini dia masih merasa takut kepada Allah? Demi Allah, tidak seorang pun yang lebih berhak atas demikian itu kecuali satu orang saja, sekali pun manusia bisa bersekutu dalam masalah ini." Gadis itu kemudian memisahkan diri dari segala urusan dunia, semua ditinggalkan dan hanya beribadah semata. Namun, sekali pun begitu ia tidak mampu memadamkan cinta dan kerinduannya kepada pemuda itu, hingga akhirnya ia meninggal karena sakit.

Mengetahui si gadis sudah meninggal, pemuda itu datang menziarahi kubur dan berdoa bagi bagi si gadis. Suatu hari ia menahaan kantuk lalu tanpa sengaja tertidur di atas pusara kuburan si gadis. Di dalam tidurnya itu, ia bermimpi bertemu wanita yang sangat dicintainya itu dengan rupa yang menawan. Dia bertanya, "Bagaimana keadaanmu wahai kekasihku? Apa yang kau temukan setelah berpisah denganku?"

Gadis itu menjawab, "Cinta yang manis wahai orang yang kubutuhkan. Cintamu adakah cinta yang menuntun keadaan kebaikan dan kesantunan."

"Sampai kapan engkau dalam keadaan begini?" tanya pemuda.

"Hingga mencapai kenikmatan dan kehidupan yang tiada sirna di taman surga yang abadi, suatu kekayaan yang tiada lenyap."

Sang pemuda berkata, "Sebutlah namaku di sana, karena aku tak dapat melupakanmu."

"Demi Allah aku juga begitu. Aku telah memohon kepada pelindungku dan pendampingmu agar menyatukan kita berdua. Maka tolonglah aku untuk menggapai tujuan ini dengan sekuat tenaga."

"Kapan aku bisa melihatmu lagi?" Tanya pemuda

"Tak lama engkau akan bertemu aku dan melihatku." Jawab si gadis.

Setelah bermimpi seperti itu, konon si pemuda hanya hidup selama tujuh hari.

Senin, 28 November 2011

إنى ضعيف أستعين على قوى
ذنبى ومعصيتى ببعض قواكا

أذنبت ياربى وآذتنى ذنوب
ما لها من غافر إلاكا

دنياى غرتنى وعفوك غرنى
ما حيلتى فى هذة أو ذاكا

لو أن قلبى شك لم يك مؤمنا
بكريم عفوك ما غوى وعصاكا

يا مدرك الأبصار والأبصار لا
تدرى له ولكنهه إدراكا

أتراك عين والعيون لها مدى
ما جاوزتة ولا مدى لمداكا

إن لم تكن عينى تراك فإننى
فى كل شىء أستبين علاكا

يا منبت الأزهار عاطرة الشذا
هذا الشذا الفواح نفح شذاكا

يا مرسل الأطيار تصدح فى الربا
صدحتها تسبيحة لعلاكا

يا مجرى الأنهار ما جريانها
إلا إنفعالة قطرة لنداكا

رباه هأنذا خلصت من الهوى
واستقبل القلب الخلى هواكا

وتركت أنسى بالحياة ولهواها
ولقيت كل الأنس فى نجواكا

ونسيت حبى وأعتزلت أحبتى
ونسيت نفسى خوف أن أنساكا

ذقت الهوى مرا ولم أذق الهوى
يا رب حلوا قبل أن أهواكا

أنا كنت يا ربى أسير غشاوة
رانت على قلبى فضل سناكا

واليوم يا ربى مسحت غشاوتى
وبدأت بالقلب البصير أراكا

يا غافر الذنب العظيم وقابلا
للتوب قلب تائب ناجاكا

أتردة وترد صادق توبتى
حاشاك ترفض تائبا حاشاكا

يا رب جئتك نادما أبكى على
ما قدمتة يداى لا أتباكا

أخشى من العرض الرهيب عليك يا
ربى وأخشى منك إذا ألقا

a nasheed bika astajir

Jumat, 25 November 2011

di bawah naungan Al-Qur'an

Fi Zhilalil Qur’an “Di Bawah Naungan Al-Qur’an”. Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat usia manusia, menjadikannya diberkahi, dan menyucikannya.
 
Segala puji milik Allah yang telah memberiku karunia dengan hidup di bawah naungan Al-Qur’an dalam suatu rentang waktu, yang kurasakan nikmatnya yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dalam hidupku. Kurasakan nikmat ini dalam hidupkum yang menjadikan usiaku bermakna, diberkahi, dan suci bersih.
 
Kutempuh hidup dengan kudengar Allah yang Mahasuci berbicara kepadaku dengan Al-Qur’an ini, padahal aku sejumput hamba yang kecil. Adakah penghormatan bagi manusia seperi penghormatan yang tinggi dan mulia seperti ini? Adakah pemaknaan dan peningkatan harkat usia seperti yang diberikan oleh Al-Qur’an ini? Kedudukan manakah yang lebih mulia yang diberikan oleh Pencipta Yang Mahamulia kepada manusia?
 
Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an. Dari tempat yang tinggi, kulihat kejahiliahan yang bergelombang di muka bumi. Kulihat pula kepentingan-kepentingan penghuninya yang kecil tak berarti. Kulihat kekaguman orang-orang jahiliah terhadap apa yang mereka miliki bagaikan kanak-kanak; pikiran-pikiran, kepentingan, dan perhatiannya bagaikan anak kecil. Ketika kulihat mereka, aku bagaikan seorang dewasa yang melihat permainan anak-anak kecil, pekerjaan anak-anak kecil dan tutur katanya yang pelat seperti anak kecil.
 
Mengapakah manusia-manusia ini? Mengapa mereka terbenam dalam lumpur lingkungan, tanpa bias dan mau mendengar seruan yang luhur  dan mulia. Seruan yang mengangkat harkat kehidupan, menjadikannya diberkahi dan menyucikannya?
 
Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an sambil bersenang-senang dengan menikmati gambaran yang sempurna, lengkap, tinggi, dan bersih bagi alam wujud ini, tentang tujuan alam wujud ini seluruhnya dan tujuan wujud manusia. Kubandingkan dengan konsepsi jahiliah tempat manusia hidup, di timur dan di barat, di utara dan selatan, dan aku bertanya,”Bagaimanakah manusia hidup di dalam kubangan yang busuk, di daratan paling rendah, dan di dalam kegelapan yang hitam pekat, sementara di sisinya ada tempat yang subur, tempat pendakian yang tinggi, dan cahaya yang cemerlang?”
 
Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an; aku rasakan simfoni yang indah antara gerak kehidupan manusia yang dikehendaki Allah dan gerak alam semesata yang diciptakan-Nya. Kemudian, kuperhatikan lagi kehidupan jahiliah maka terlihat olehku kejatuhan yang  dialami manusia karena menyimpang dari sunnah kauniyah dan benturan antara ajaran-ajaran yang rusak serta jahat yang telah lama kemanusiaan bercokol di atasnya dan fitrah yang diciptakan Allah untuknya. Aku berkata dalam hati, “setan keparat manakah gerangan yang telah memimbing langkah mereka ke neraka jahim ini”
 
Wahai betapa ruginya manusia ini!!!
 
…..

(Syeikh Sayyid Quthb, dikutip dari potongan Mukadimah buku Fi Zhilalil Qur'an)

Selasa, 22 November 2011


Mu'adz bin Jabal adalah sahabat nabi yang berbai'at kepada Rasulullah. Ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Mu'adz terkenal sebagai cendekiawan dengan wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqh, dan bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang paling mengerti yang mana yang halal dan yang haram. Mu'adz juga merupakan duta besar Islam yang pertama kali yang dikirim Rasulullah.
Nama panjangnya adalah Mu’adz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, sedangkan nama julukannya adalah Abu Abdurahman. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun. Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan bergigi putih mengkilat. Mu’adz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72 orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah, yaitu pada Bai’atul ‘Aqabah kedua. Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah. Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat terkemuka seperti Amru bin al-Jamuh. Pada tahun hijrah, Rasulullah mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib.
Menjadi Duta Pertama di Yaman
Di usianya yang tergolong sangat muda, Rasulullah telah mengirimnya ke negeri Yaman untuk mengajarkan ilmu. Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"
"Kitabullah," jawab Mu'adz.  
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Mu’adz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.
Rasulullah bersabda kepadanya: “Sungguh, aku mencintaimu”.
Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".  
Cintanya pada Rasulullah
Dikisahkan dari Said bin Ziyad dari Khalid bin Saad, bahwa Mu'adz bin Jabal ra telah berkata: "Rasulullah SAW telah mengutusku ke Negeri Yaman untuk memberikan pelajaran agama di sana. Maka tinggallah aku di sana. Pada satu malam aku bermimpi dikunjungi oleh seseorang. Kemudian orang itu berkata kepadaku: "Apakah anda masih tidur juga wahai Mu'adz, padahal Rasulullah SAW telah berada di dalam tanah." Mu'adz terbangun dari tidur dengan rasa takut, lalu ia mengucapkan: "A'uzubillahi minasy syaitannir rajim?" Setelah itu ia lalu mengerjakan solat. Pada malam seterusnya, ia bermimpi seperti mimpi malam yang pertama. Mu'adz berkata: "Kalau seperti ini, bukanlah dari syaitan?" Kemudian ia memekik sekuat-kuatnya, sehingga didengar sebahagian penduduk Yaman.

Pada esok harinya orang ramai berkumpul, lalu Mu'adz berkata kepada mereka: "Malam tadi dan malam sebelumnya saya bermimpi yang sukar untuk difahami. Dahulu, bila Rasulullah SAW bermimpi yang sukar difahami, baginda membuka Mushaf (al-Quran). Maka berikanlah Mushaf kepadaku. Setelah Mu'adz menerima Mushaf, lalu dibukanya maka nampaklah firman Allah yang bermaksud:

"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula?" (Az-Zumar: 30).

Maka menjeritlah Mu'adz, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah ia sadar kembali, ia membuka Mushaf lagi, dan ia nampak firman Allah yang berbunyi:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada orang-orang yang bersyukur?" (Ali-lmran: 144).

Maka Mu'adz pun menjerit lagi: "Aduhai Abu-Qassim. Aduhai Muhammad?" Kemudian ia keluar meninggalkan Negeri Yaman menuju ke Madinah. Ketika ia akan meninggalkan penduduk Yaman, ia berkata: "Seandainya apa yang kulihat ini benar. Maka akan meranalah para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, dan kita akan menjadi seperti biri-biri yang tidak ada pengembala." Kemudian ia berkata: "Aduhai sedihnya berpisah dengan Nabi Muhammad SAW?" Lalu ia pun pergi meninggalkan mereka.

Di saat ia berada pada jarak lebih kurang tiga hari perjalanan dari Kota Madinah, tiba-tiba terdengar olehnya suara halus dari tengah-tengah lembah, yang mengucapkan firman Allah yang bermaksud: "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." Lalu Mu'adz mendekati sumber suara itu, setelah berjumpa, Mu'adz bertanya kepada orang tersebut: "Bagaimana kabar Rasulullah SAW? Orang tersebut menjawab: Wahai Mu'adz, sesungguhnya Muhammad SAW telah meninggal dunia. Mendengar ucapan itu Mu'adz terjatuh dan tak sadarkan diri. Lalu orang itu menyadarkannya, ia memanggil Mu'adz: Wahai Mu'adz sadarlah dan bangunlah." Ketika Mu'adz sadar kembali, orang tersebut lalu menyerahkan sepucuk surat untuknya yang berasal dari Abu Bakar Assiddiq, dengan cop dari Rasulullah SAW. Tatkala Mu'adz melihatnya, ia lalu mencium cop tersebut dan diletakkan di matanya, kemudian ia menangis dengan tersedu-sedu. Setelah puas ia menangis ia pun melanjutkan perjalanannya menuju Kota Madinah.

Mu'adz sampai di Kota Madinah pada waktu fajar menyingsing. Didengarnya Bilal sedang mengumandangkan azan Subuh. Bilal mengucapkan: "Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah?" Mu'adz menyambungnya: "Wa Asyhadu Anna Muhammadur Rasulullah?" Kemudian ia menangis dan akhirnya ia jatuh dan tak sadarkan diri lagi. Pada saat itu, di samping Bilal bin Rabah ada Salman Al-Farisy ra lalu ia berkata kepada Bilal: "Wahai Bilal sebutkanlah nama Muhammad dengan suara yang kuat dekatnya, ia adalah Mu'adz yang sedang pingsan. Ketika Bilal selesai azan, ia mendekati Mu'adz, lalu ia berkata: "Assalamualaika, angkatlah kepalamu wahai Mu'adz, aku telah mendengar dari Rasulullah SAW, baginda bersabda: "Sampaikanlah salamku kepada Mu'adz." Maka Mu'adz pun mengangkatkan kepalanya sambil menjerit dengan suara keras, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia telah menghembus nafas yang terakhir, kemudian ia berkata: "Demi ayah dan ibuku, siapakah yang mengingatkan aku pada baginda, ketika baginda akan meninggalkan dunia yang fana ini, wahai Bilal? Marilah kita pergi ke rumah istri baginda Siti Aisyah ra."

Ketika sampai di depan pintu rumah Siti Aisyah, Mu'adz mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahlil bait, wa rahmatullahi wa barakatuh?" Yang keluar ketika itu adalah Raihanah, ia berkata: "Aisyah sedang pergi ke rumah Siti Fatimah. Kemudian Mu'adz menuju ke rumah Siti Fatimah dan mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahli bait." Siti Fatimah menyambut salam tersebut, kemudian ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: Orang yang paling alim di antara kamu tentang perkara halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal, ia adalah kekasih Rasulullah SAW."

Kemudian Fatimah berkata lagi: "Masuklah wahai Mu'adz?" Fatimah ra lalu berkata kepadanya: "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sampaikanlah salam saya kepada Mu'adz dan kabarkan kepadanya bahwa ia kelak di hari kiamat sebagai imam ulama." Kemudian Mu'adz bin Jabal keluar dari rumah Fatimah ra menuju ke arah kubur Rasulullah SAW.
Pesonanya
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab.
Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.  Dalam halaqah tersebut ia dapati seorang anak muda yang tampan, kulitnya hitam manis, bersih, dan baik tutur katanya. Usianya paling muda di antara yang lainnya. Jika mereka mendapati keraguan terhadap suatu hadits, mereka menanyakannya kepada anak muda itu dan ia segera memberikan fatwanya. Dan ia tidak berbicara kecuali bila diminta. Dan ketika majlis itu berakhir, ‘Aidzullah menanyakan siapa namanya. Dan ia menjawab, saya adalah Mu’adz bin Jabal.
Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya." Dan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"
Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara". Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun!
Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.
Muda, Cerdas, Sholeh, Sukses
Di Yaman selain berdakwah menyebarkan dan mengajarkan Islam, Mu’adz bin Jabal juga berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Karena kepandaian dan ketekunannya pulalah, maka ia berhasil meningkatkan omset dagangnya dan berubah menjadi pribadi yang kaya raya, santun dan faqih. Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu’adz masih berada di Yaman. Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke Madinah, dan di awal kedatangannya terjadi sebuah kisah indah penuh ukhuwah antara Mu’adz, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan pribadinya meningkat tajam dari beberapa tahun sebelumnya. Seperti biasa, ketegasan dan kewaspadaan ala Umar bin Khattab berjalan, beliau sebagai penasehat khalifah segera mengusulkan kepada Abu Bakar agar membagi dua kekayaan Mu’adz dan menyerahkannya kepada negara, sebagai bentuk kehati-hatian sebagai pengelola negara. Abu Bakar tidak segera menyetujui usulan dari Umar, namun tanpa menunggu persetujuan Abu Bakar, secara pribadi Umar bersegera mendatangi Mu’adz untuk datang sebagai sahabat.
Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat.

Mu’adz bin Jabal sebagaimana kita ketahui dalam testimoni Rasulullah SAW, adalah orang yang paham tentang halal dan haram. Termasuk halal dan haram dalam transaksi dan perdagangan. Ia tidak mengenal bertransaksi dengan unsur maysir (spekulasi), ghoror (tipuan), gheis (curang) apalagi ikhtikar (menimbun barang) dan riba. Kekayaan yang didapat pun tak lebih dari buah ketekunan dan kecerdasan, yang mendapatkan taufiq dari ar-rozzaq Allah SWT, jauh dari segala syubhat apalagi yang haram.
Maka ketika Umar datang ke rumahnya dan mengemukakan usulannya untuk membagi dua harta tersebut, Mu’adz pun menolak dengan argumen yang cerdas dan hujjah yang kuat.  Diskusi hangat dua sahabat mulia itu pun berakhir dan Umar berpamitan meninggalkannya. Sungguh ia tidak hasad dan iri dengan kekayaan Mu’adz, tidak pula ia menuduh Mu’adz bermaksiat dengan mencari jalan haram dalam menumpuk kekayaan, namun ia hanya takut karena saat itu Islam sedang mengalami kejayaan dan kegemilangan, di luar sana banyak tokoh-tokoh yang memanfaatkan hal tersebut dengan bergelimang harta tanpa kejelasan sumber halalnya. Inilah yang ditakuti Umar, tidak lebih.
Hari itu, Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula. Kemudian Umar berpaling meninggalkannya. Namun, pagi-pagi keesokan harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"
Nampaknya mimpi tersebut membuat Mu’adz ingin segera menuruti usulan Umar bin Khattab untuk membagi dua harta kekayaannya yang diperoleh dari Yaman.  Maka keduanya pun segera menghadap Abu Bakar, dan Mu’adz pun mengutarakan niatnya, meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya.
Namun apa jawab khalifah Abu Bakar yang mulia? Khalifah yang timbangan imannya tak tertandingi oleh penghuni bumi ini menolak dengan tegas, ia mengatakan: “Tidak satu pun yang akan saya ambil darimu”.  Abu Bakar tahu dan yakin bahwa Mu’adz memperoleh kekayaan dari jalan yang baik, maka ia tidak ingin mengambil satu dirham pun dari harta sahabatnya tersebut, yang itu berarti kezhaliman dan akan berbuah kehinaan di akhirat.
Mu’adz belum puas dengan jawaban sang khalifah, ia pun menoleh dan meminta pendapat Umar bin Khattab, ia teringat dengan mimpinya semalam yang begitu mendebarkan. Apa komentar Umar sebagai pihak yang mengawali usulan pembagian harta tersebut, ia berujar singkat: “ Cukup, sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik”.  Subhanallah, kegelisahan pun berakhir dengan kehangatan ukhuwah dan kemuliaan iman.
Masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.
Subhanallah
Wafatnya
Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.  Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri. Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah hebat di Urdun tempat ia mengajar sebagai utusan khalifah Umar bin Khattab. Saat itu usianya 33 tahun.
Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketaatan."
Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah
Kutipan Kisah Bersama Rasulullah, Kekasih yang Dicintainya
Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."

Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.

Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"
"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.
"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"
"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."
Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!"

Kisah lainnya:
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu‘anhu berkata: “Saya pernah bersama Nabi sholAllahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Pada suatu pagi ketika kami sedang berjalan, aku berada di dekat beliau, maka aku berkata, Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka”.
Maka beliau bersabda: “Sungguh engkau telah bertanya kepadaku tentang perkara yang begitu besar akan tetapi akan terasa mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah, engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji.”
 Kemudian beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Berpuasa adalah perisai, sedekah dapat memadamkan dosa-dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, demikian juga  shalat seseorang di tengah malam, kemudian beliau membacakan ayat, ‘…lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka…’ hingga ‘..apa yang telah mereka kerjakan’ [QS. As-Sajdah ; 17] 
Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan urusan yang terpenting, tiang-tiang penyanggahnya, dan puncak tertingginya ?” Saya katakan: “Tentu wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda: “Urusan terpenting adalah Islam, tiang penopangnya adalah shalat sedangkan puncak tertingginya (atapnya) adalah jihad”.
 Kemudian lanjutnya: “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua itu ?” Saya menjawab: “Tentu wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya, lalu bersabda: “Jagalah olehmu ini!” Aku bertanya: “Wahai Nabi Allah, apakah kami akan disiksa dengan sebab perkataan yang kami ucapkan?”
Beliau menjawab: “Ibumu kehilangan kamu ya Mu’adz, bukankah orang-orang itu tersungkur di Neraka diatas wajah-wajah mereka atau diatas hidung-hidung mereka, tidak lain disebabkan oleh ulah lisan-lisan mereka ?”
[HR. Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa']

Hepi Andi Bastoni. 101 Sahabat Nabi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14809/inspiring-Mu’adz-bin-jabal-dai-muda-yang-kaya-raya-dan-lembut-hati/#ixzz1e13wCyEg

Zaid bin Tsabit (Radhiyallahu Anhu)


Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari (612 - 637/15 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Zaid bin Tsabit, adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW dan merupakan penulis wahyu dan surat-surat Rasulullah SAW. Ia memiliki gelar “Jami’ al-Quran al-Karim”(pengumpul al-Qur’an) dan syeikh al-muqiriin. Beliau sering memberikan fatwa, memutuskan perkara yang disengketakan dan mengajarkan ilmu faroidh (pembagian harta warisan). Beliau termasuk diantara sahabat yang cerdas dan pintar. Di antara para sahabat yang dikenal sebagai penghafal Al-Qur'an dan penulisnya adalah Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhum ajma'in.
Zaid bin Tsabit lahir di Madinah sebelas tahun sebelum Hijriah. Zaid bin Tsabit merupakan keturunan Bani Khazraj. Ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Zaid bin Tsabit masuk Islam bersama-sama keluarganya. Walaupun masih kecil, ia adalah anak yang berani dan patuh terhadap ajaran agama. Ketika pasukan Islam berangkat ke medan perang Badar ia ingin ikut bersama ayahnya. Tetapi dilarang Rasulullah (shalallahu alahi wasallam), karena ia masih terlalu kecil untuk ikut berperang.

Simbol Keberanian dan Kecerdasan di Usia Belia

Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.” Rasulullah menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliaumenepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya masih sangat muda.

Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya. Ibu anak itu, Nuwar binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angannya terbayang, alangkah bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW. Tetapi anak Anshar yang cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia. Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu berdekatan dengan Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.
Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira buahpikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya. Nuwar memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan ditempuh anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui  Rasulullah. Kata mereka, “Wahai Rasulullah! Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki, silakan mendengarkan bacaannya.
Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Quran yang telah dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat Al-Quran bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa yang dibacanya. Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai Zaid bin Tsabit, ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Terlebih lagi, Zaid bin Tsabit pandai menulis dan membaca.
Zaid diperintahkan Rasulullah mempelajari bahasa Ibrani (Yahudi). Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi, Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.
Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid berhasil menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau untuk kedua bahasa tersebut.
Rasulullah SAW berkata kepadanya "Aku berkirim surat kepada orang, dan aku khawatir, mereka akan menambah atau mengurangi surat-suratku itu, maka pelajarilah bahasa Suryani", kemudian aku mempelajarinya selama 17 hari, dan bahasa Ibrani selama 15 hari.

Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan, ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit (al-Quran). Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil Zaid, laludibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al-Quran didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat.

Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat turun. Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang berhubungan. Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Quran, dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasia syariat Islam, sementara dia mengkhususkan diri dengan Al-Qur’an.
Selain menjadi sekretaris Rasulullah (shalallahu alahi wasallam), pemuda cerdas ini turut serta bersama Nabi Muhammad (shalallahu alahi wasallam) dalam perang Khandaq (ahzab) dan peperangan lainnya. Dalam peperangan Tabuk, Nabi Muhammad (shalallahu alahi wasallam)  menyerahkan bendera Bani Najjar yang sebelumnya dibawa oleh Umarah kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Al-Quran harus diutamakan, sedang Zaid lebih banyak menghafal Al-Quran daripada engkau."
Selama berjuang dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan kurang lebih 93 hadits, yang lima daripadanya disepakati bersama oleh Iman Bukhari dan Imam Muslim. Bukhari juga meriwayatkan empat hadits yang lainnya bersumberkan dari Zaid bin Tsabit, sementara Muslim meriwayatkan satu hadits lainnya yang bersumberkan dari Zaid bin Tsabit.

Di antara hadits riwayatnya itu, diceritakan bahwa pada suatu malam di bulan puasa kami makan sahur bersama Rasulullah. Setelah itu kami shalat. Zaid bertanya, "Berapa lama antara waktu sahur dengan waktu shalat?" Rasulullah menjawab, "Kurang lebih lima puluh ayat." (HR. Bukhari Muslim).

Tugas Berat, Pengumpul Al-Quran
Di kemudian hari setelah Rasulullah wafat, pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin Tsabit adalah salah seorang yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali Al-Quran dalam satu mushaf

Setelah wafatnya Rasulullah, banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dengan tidak bersedia membayar zakat. Khalifah Abu Bakar Shidiq melihat hal ini sebagai ancaman bagi perkembangan Islam. Kaum murtad harus dibasmi. Maka terjadilah perang yang sangat banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Tujuh puluh orang penghafal Al-Quran gugur dalam perang tersebut

Umar bin Khattab merasa khawatir akan kelestarian Al-Quran dengan banyaknya para penghafal Al-Quran yang gugur. Ia lalu mengusulkan kepada khalifah untuk menghimpun ayat-ayat Al-Quran. Setelah sebelumnya sempat tidak setuju, Khalifah Abu Bakar akhirnya menyetujui rencana mulia itu. Beliau lalu mempercayakan tugas besar dan berat itu kepada Zaid bin Tsabit. Beliau memanggil Zaid bin Tsabit dan kemudian mengatakan kepadanya:
"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu".
Zaid yang tak pernah menduga mendapat tugas seperti ini memberikan jawaban: "Demi Allah, mengapa engkau akan lakukan sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan? Sungguh ini pekerjaan berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah seberat tugas yang kuhadapi kali ini." Meskipun pada awalnya ia menolak, namun setelah diyakinkan akhirnya Zaid bin Tsabit dengan bantuan beberapa orang lainnya (tim khusus) menjalankan tugas tersebut.

Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu Zaid bekerja dengan amat teliti dan cermat. Zaid membuat dua butir persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan satu persyaratan lagi. Ketiga persyaratan tersebut adalah:
1. Ayat/surat tersebut harus dihafal paling sedikit 2 orang.
2. Harus ada dalam bentuk tertulisnya (di batu, tulang, kulit dan bentuk lainnya).
3. Untuk yang tertulis, paling tidak harus ada 2 orang saksi yang melihat saat dituliskannya.
Walaupun ia hafal Al-Quran seluruhnya, tetapi untuk keperluan pengumpulan Al-Qur an yang sangat penting bagi umat Islam, ia masih memandang perlu untuk mencocokkan hafalannya dengan catatan para sahabat yang lain dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan cara demikian Al-Quran telah ditulis dan disusun seluruhnya oleh Zaid dalam lembaran-Iembaran dan diikat dengan benang, tersusun menurut ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Mushaf Al-Quran itu kemudian diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar.
Mengenai kedalaman ilmunya, Ibn Abbas berkata: “Sebagaimana diketahui bahwa para penghafal al-Quran dari kalangan sahabat dan Zaid bin Tsabit termasuk orang-orang luas ilmunya”. 

Pada masa kekhalifahan pemerintahan Utsman bin Affan, Zaid bin Tasbit ditugaskan kembali menjadi ketua tim penyusun mushaf. Sungguh, hal ini merupakan kedudukan mulia dan tugas yang teramat berat. Tugas yang hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan kecerdasan luar biasa dan keluasan ilmu.

Zaid bin Tsabit diangkat menjadi bendahara pada zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Ketika pemerintahan Khalifah Utsman, Zaid bin Tsabit diangkat menjadi pengurus Baitul Maal. Umar dan Utsman juga mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai pemegang jabatan khalifah sementara ketika mereka menunaikan ibadah haji.
Keutamaan Lain
Di antara keutamaan yang dilimpahkan Al-Quran terhadap Zaid bin Tsabit, dia pernah memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah) Rasulullah sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, “Pihak kamilah yang lebih pantas.” Kata sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya.” Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum dimakamkan. Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Quran yang sanggup mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu. Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya orang-orang Anshar.
Katanya, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah orang Muhajirin. Karena itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”
Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar Ash-Shidiq seraya berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian kepadanya!” Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Quran telah mengangkatnya menjadi penasihat kaum muslimin.
Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada di antara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari pada Zaid.

Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai, manusia! Siapa yang
ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak
bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak bertanya
tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah
menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”

Kedalaman Ilmu

Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.
Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan hewan yang sedang dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan saja hewan itu, wahai anak paman Rasulullah!” Jawab Ibnu Abbas, “Beginilah kami diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.” Kata Zaid, “Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!” Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga Nabi kami.”

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meski dikenal sangat pandai dan banyak memahami tentang ajaran Islam, tidak segan-segan datang ke tempat Zaid untuk menimba ilmu. Ibnu Abbas berkata, "Ilmu itu dicari bukan datang sendiri."

Kehidupannya dalam Keluarga

Meskipun sibuk dengan urusan agama, beliau tidak pernah melupakan tugas sebagai suami dalam keluarga. Sebagaimana Rasulullah sabdakan, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang baik dengan istrinya. Dan saya lah orang yang baik dengan istri.”(HR.Bukhori Muslim). Dari Tsabit bin ‘Ubaid berkata; “Zaid bin Tsabit adalah manusia paling ceria dengan keluarganya.”


Wafatnya Pemilik Ilmu
Beliau wafat pada tahun 45 Hijriah di Madinah. Setelah wafatnya Hassan bin Tsabit meratapinya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini orang yang paling alim di umat Islam telah wafat, semoga Allah memberikan ganti dari keluarga Ibn Abbas.” Beliau meninggalkan seorang anak bernama Khorijah bin Zaid, salah seorang ahli fikih tujuh yang terkenal di Madinah. Anaknya termasuk dari golongan tabi’in yang sangat berpengaruh.
Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam. Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan Ibnu Abbas.” Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai sajak yang indah,
Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin!

Sumber:
Mursi, Muhammad Sa'id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. ISBN 979-592-387-0
Abdurrahman Ra'fat Basya. 2002. Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah Saw. Shuwarum Min Hayatis Shahabah. Penerjemah Ma'mur Daud. -- jil. 1, jil. 2, jil. 3 -- Cet. 2 -- Jakart: Media da'wah. ISBN: 9798736356; 9798736364; 9798736372