Mu'adz bin Jabal adalah sahabat nabi yang berbai'at kepada Rasulullah. Ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Mu'adz terkenal sebagai cendekiawan dengan
wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqh, dan bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang paling mengerti yang mana yang halal dan yang haram. Mu'adz
juga merupakan duta besar Islam yang pertama kali yang dikirim Rasulullah.
Nama panjangnya adalah Mu’adz
bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, sedangkan nama julukannya adalah Abu
Abdurahman. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun.
Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan
bergigi putih mengkilat. Mu’adz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72
orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah, yaitu pada Bai’atul ‘Aqabah
kedua. Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di
dalam masyarakat Madinah. Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat
terkemuka seperti Amru bin al-Jamuh. Pada tahun hijrah, Rasulullah
mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib.
Menjadi Duta Pertama di
Yaman
Di
usianya yang tergolong sangat muda, Rasulullah telah mengirimnya ke negeri
Yaman untuk mengajarkan ilmu. Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki
sedangkan Mu’adz berkendaraan. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke
Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili
sesuatu, hai Mu'adz?"
"Kitabullah,"
jawab Mu'adz.
"Bagaimana
jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya
putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika
tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiranku
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Mu’adz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.
Rasulullah bersabda kepadanya: “Sungguh, aku mencintaimu”.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.
Rasulullah bersabda kepadanya: “Sungguh, aku mencintaimu”.
Dan
mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu
fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah
sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".
Cintanya pada
Rasulullah
Dikisahkan
dari Said bin Ziyad dari Khalid bin Saad, bahwa Mu'adz bin Jabal ra telah
berkata: "Rasulullah SAW telah mengutusku ke Negeri Yaman untuk memberikan
pelajaran agama di sana. Maka tinggallah aku di sana. Pada satu malam aku
bermimpi dikunjungi oleh seseorang. Kemudian orang itu berkata kepadaku:
"Apakah anda masih tidur juga wahai Mu'adz, padahal Rasulullah SAW telah
berada di dalam tanah." Mu'adz terbangun dari tidur dengan rasa takut,
lalu ia mengucapkan: "A'uzubillahi minasy syaitannir rajim?" Setelah
itu ia lalu mengerjakan solat. Pada malam seterusnya, ia bermimpi seperti mimpi
malam yang pertama. Mu'adz berkata: "Kalau seperti ini, bukanlah dari
syaitan?" Kemudian ia memekik sekuat-kuatnya, sehingga didengar sebahagian
penduduk Yaman.
Pada
esok harinya orang ramai berkumpul, lalu Mu'adz berkata kepada mereka:
"Malam tadi dan malam sebelumnya saya bermimpi yang sukar untuk difahami.
Dahulu, bila Rasulullah SAW bermimpi yang sukar difahami, baginda membuka
Mushaf (al-Quran). Maka berikanlah Mushaf kepadaku. Setelah Mu'adz menerima
Mushaf, lalu dibukanya maka nampaklah firman Allah yang bermaksud:
"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula?" (Az-Zumar: 30).
Maka menjeritlah Mu'adz, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah ia sadar kembali, ia membuka Mushaf lagi, dan ia nampak firman Allah yang berbunyi: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada orang-orang yang bersyukur?" (Ali-lmran: 144).
Maka Mu'adz pun menjerit lagi: "Aduhai Abu-Qassim. Aduhai Muhammad?" Kemudian ia keluar meninggalkan Negeri Yaman menuju ke Madinah. Ketika ia akan meninggalkan penduduk Yaman, ia berkata: "Seandainya apa yang kulihat ini benar. Maka akan meranalah para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, dan kita akan menjadi seperti biri-biri yang tidak ada pengembala." Kemudian ia berkata: "Aduhai sedihnya berpisah dengan Nabi Muhammad SAW?" Lalu ia pun pergi meninggalkan mereka.
Di
saat ia berada pada jarak lebih kurang tiga
hari perjalanan dari Kota Madinah, tiba-tiba terdengar olehnya suara halus dari
tengah-tengah lembah, yang mengucapkan firman Allah yang bermaksud:
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." Lalu Mu'adz
mendekati sumber suara itu, setelah berjumpa, Mu'adz bertanya kepada orang
tersebut: "Bagaimana kabar Rasulullah SAW? Orang tersebut menjawab: Wahai
Mu'adz, sesungguhnya Muhammad SAW telah meninggal dunia. Mendengar ucapan itu Mu'adz
terjatuh dan tak sadarkan diri. Lalu orang itu menyadarkannya, ia memanggil
Mu'adz: Wahai Mu'adz sadarlah dan bangunlah." Ketika Mu'adz sadar kembali,
orang tersebut lalu menyerahkan sepucuk surat untuknya yang berasal dari Abu
Bakar Assiddiq, dengan cop dari Rasulullah SAW. Tatkala Mu'adz melihatnya, ia
lalu mencium cop tersebut dan diletakkan di matanya, kemudian ia menangis
dengan tersedu-sedu. Setelah puas ia menangis ia pun melanjutkan perjalanannya
menuju Kota Madinah.
Mu'adz sampai di Kota Madinah pada waktu fajar menyingsing. Didengarnya Bilal sedang mengumandangkan azan Subuh. Bilal mengucapkan: "Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah?" Mu'adz menyambungnya: "Wa Asyhadu Anna Muhammadur Rasulullah?" Kemudian ia menangis dan akhirnya ia jatuh dan tak sadarkan diri lagi. Pada saat itu, di samping Bilal bin Rabah ada Salman Al-Farisy ra lalu ia berkata kepada Bilal: "Wahai Bilal sebutkanlah nama Muhammad dengan suara yang kuat dekatnya, ia adalah Mu'adz yang sedang pingsan. Ketika Bilal selesai azan, ia mendekati Mu'adz, lalu ia berkata: "Assalamualaika, angkatlah kepalamu wahai Mu'adz, aku telah mendengar dari Rasulullah SAW, baginda bersabda: "Sampaikanlah salamku kepada Mu'adz." Maka Mu'adz pun mengangkatkan kepalanya sambil menjerit dengan suara keras, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia telah menghembus nafas yang terakhir, kemudian ia berkata: "Demi ayah dan ibuku, siapakah yang mengingatkan aku pada baginda, ketika baginda akan meninggalkan dunia yang fana ini, wahai Bilal? Marilah kita pergi ke rumah istri baginda Siti Aisyah ra."
Mu'adz sampai di Kota Madinah pada waktu fajar menyingsing. Didengarnya Bilal sedang mengumandangkan azan Subuh. Bilal mengucapkan: "Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah?" Mu'adz menyambungnya: "Wa Asyhadu Anna Muhammadur Rasulullah?" Kemudian ia menangis dan akhirnya ia jatuh dan tak sadarkan diri lagi. Pada saat itu, di samping Bilal bin Rabah ada Salman Al-Farisy ra lalu ia berkata kepada Bilal: "Wahai Bilal sebutkanlah nama Muhammad dengan suara yang kuat dekatnya, ia adalah Mu'adz yang sedang pingsan. Ketika Bilal selesai azan, ia mendekati Mu'adz, lalu ia berkata: "Assalamualaika, angkatlah kepalamu wahai Mu'adz, aku telah mendengar dari Rasulullah SAW, baginda bersabda: "Sampaikanlah salamku kepada Mu'adz." Maka Mu'adz pun mengangkatkan kepalanya sambil menjerit dengan suara keras, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia telah menghembus nafas yang terakhir, kemudian ia berkata: "Demi ayah dan ibuku, siapakah yang mengingatkan aku pada baginda, ketika baginda akan meninggalkan dunia yang fana ini, wahai Bilal? Marilah kita pergi ke rumah istri baginda Siti Aisyah ra."
Ketika sampai di depan pintu rumah Siti Aisyah, Mu'adz mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahlil bait, wa rahmatullahi wa barakatuh?" Yang keluar ketika itu adalah Raihanah, ia berkata: "Aisyah sedang pergi ke rumah Siti Fatimah. Kemudian Mu'adz menuju ke rumah Siti Fatimah dan mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahli bait." Siti Fatimah menyambut salam tersebut, kemudian ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: Orang yang paling alim di antara kamu tentang perkara halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal, ia adalah kekasih Rasulullah SAW."
Kemudian Fatimah berkata lagi: "Masuklah wahai Mu'adz?" Fatimah ra lalu berkata kepadanya: "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sampaikanlah salam saya kepada Mu'adz dan kabarkan kepadanya bahwa ia kelak di hari kiamat sebagai imam ulama." Kemudian Mu'adz bin Jabal keluar dari rumah Fatimah ra menuju ke arah kubur Rasulullah SAW.
Pesonanya
Dalam
kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama
dengan Umar bin Khathab.
Suatu
hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk
masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis
yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah
hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.
Dalam halaqah tersebut ia dapati seorang anak muda yang tampan, kulitnya
hitam manis, bersih, dan baik tutur katanya. Usianya paling muda di antara yang
lainnya. Jika mereka mendapati keraguan terhadap suatu hadits, mereka
menanyakannya kepada anak muda itu dan ia segera memberikan fatwanya. Dan ia
tidak berbicara kecuali bila diminta. Dan ketika majlis itu berakhir,
‘Aidzullah menanyakan siapa namanya. Dan ia menjawab, saya adalah Mu’adz bin
Jabal.
Shahar
bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para
sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah
mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya." Dan
Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra sendiri sering meminta pendapat dan buah
pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat
dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat
Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"
Ia
seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika
mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk
memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan
oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari
mulutnya keluar cahaya dan mutiara". Dan kedudukan yang tinggi
di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik
selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz
sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang
usianya belum 33 tahun!
Mu'adz
adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu
pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan
hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.
Muda, Cerdas, Sholeh, Sukses
Di
Yaman selain berdakwah menyebarkan dan mengajarkan Islam, Mu’adz bin Jabal juga
berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Karena kepandaian dan ketekunannya
pulalah, maka ia berhasil meningkatkan omset dagangnya dan berubah menjadi
pribadi yang kaya raya, santun dan faqih. Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu’adz
masih berada di Yaman. Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke
Madinah, dan di awal kedatangannya terjadi sebuah kisah indah penuh ukhuwah
antara Mu’adz, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Di
masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz
telah menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan pribadinya meningkat tajam dari
beberapa tahun sebelumnya. Seperti biasa, ketegasan dan kewaspadaan ala Umar
bin Khattab berjalan, beliau sebagai penasehat khalifah segera mengusulkan
kepada Abu Bakar agar membagi dua kekayaan Mu’adz dan menyerahkannya kepada
negara, sebagai bentuk kehati-hatian sebagai pengelola negara. Abu Bakar tidak
segera menyetujui usulan dari Umar, namun tanpa menunggu persetujuan Abu Bakar,
secara pribadi Umar bersegera mendatangi Mu’adz untuk datang sebagai sahabat.
Mu'adz
adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia
telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak
pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang
yang syubhat.
Mu’adz bin Jabal sebagaimana kita ketahui dalam testimoni Rasulullah SAW, adalah orang yang paham tentang halal dan haram. Termasuk halal dan haram dalam transaksi dan perdagangan. Ia tidak mengenal bertransaksi dengan unsur maysir (spekulasi), ghoror (tipuan), gheis (curang) apalagi ikhtikar (menimbun barang) dan riba. Kekayaan yang didapat pun tak lebih dari buah ketekunan dan kecerdasan, yang mendapatkan taufiq dari ar-rozzaq Allah SWT, jauh dari segala syubhat apalagi yang haram.
Mu’adz bin Jabal sebagaimana kita ketahui dalam testimoni Rasulullah SAW, adalah orang yang paham tentang halal dan haram. Termasuk halal dan haram dalam transaksi dan perdagangan. Ia tidak mengenal bertransaksi dengan unsur maysir (spekulasi), ghoror (tipuan), gheis (curang) apalagi ikhtikar (menimbun barang) dan riba. Kekayaan yang didapat pun tak lebih dari buah ketekunan dan kecerdasan, yang mendapatkan taufiq dari ar-rozzaq Allah SWT, jauh dari segala syubhat apalagi yang haram.
Maka
ketika Umar datang ke rumahnya dan mengemukakan usulannya untuk membagi dua
harta tersebut, Mu’adz pun menolak dengan argumen yang cerdas dan hujjah yang
kuat. Diskusi hangat dua sahabat mulia itu pun berakhir dan Umar
berpamitan meninggalkannya. Sungguh ia tidak hasad dan iri dengan kekayaan Mu’adz,
tidak pula ia menuduh Mu’adz bermaksiat dengan mencari jalan haram dalam
menumpuk kekayaan, namun ia hanya takut karena saat itu Islam sedang mengalami
kejayaan dan kegemilangan, di luar sana banyak tokoh-tokoh yang memanfaatkan
hal tersebut dengan bergelimang harta tanpa kejelasan sumber halalnya. Inilah
yang ditakuti Umar, tidak lebih.
Hari
itu, Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan
pula. Kemudian Umar berpaling meninggalkannya. Namun, pagi-pagi keesokan
harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan
memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam
tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan
tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"
Nampaknya
mimpi tersebut membuat Mu’adz ingin segera menuruti usulan Umar bin Khattab
untuk membagi dua harta kekayaannya yang diperoleh dari Yaman. Maka
keduanya pun segera menghadap Abu Bakar, dan Mu’adz pun mengutarakan niatnya,
meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya.
Namun
apa jawab khalifah Abu Bakar yang mulia? Khalifah yang timbangan imannya tak
tertandingi oleh penghuni bumi ini menolak dengan tegas, ia mengatakan: “Tidak
satu pun yang akan saya ambil darimu”. Abu Bakar tahu dan yakin bahwa Mu’adz
memperoleh kekayaan dari jalan yang baik, maka ia tidak ingin mengambil satu
dirham pun dari harta sahabatnya tersebut, yang itu berarti kezhaliman dan akan
berbuah kehinaan di akhirat.
Mu’adz
belum puas dengan jawaban sang khalifah, ia pun menoleh dan meminta pendapat
Umar bin Khattab, ia teringat dengan mimpinya semalam yang begitu mendebarkan.
Apa komentar Umar sebagai pihak yang mengawali usulan pembagian harta tersebut,
ia berujar singkat: “ Cukup, sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang
baik”. Subhanallah, kegelisahan pun berakhir dengan kehangatan ukhuwah
dan kemuliaan iman.
Masa
itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai
puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah
bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula
yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada
kebaikan.
Subhanallah
Wafatnya
Mu'adz pindah ke Syria (Suriah),
di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi
guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur
militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh
Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria. Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang
jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk
dan menyerahkan diri. Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah
hebat di Urdun tempat ia mengajar sebagai utusan khalifah Umar bin
Khattab. Saat itu usianya 33 tahun.
Menjelang
akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku
takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau
mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai
atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan
menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan,
keimanan, dan ketaatan."
Lalu diulurkanlah tangannya
seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam
gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di
saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah
Kutipan Kisah Bersama Rasulullah,
Kekasih yang Dicintainya
Pada
suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh
sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah,
bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas
kepada-Mu."
Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.
Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"
Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.
Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"
"Di
pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.
"Setiap
kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat
keimananmu?"
"Setiap
berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan
setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi.
Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan
diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh
berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk
surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam
neraka."
Maka
sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah
jangan dilepaskan!"
Kisah lainnya:
Kisah lainnya:
Mu’adz
bin Jabal radhiyallahu‘anhu berkata: “Saya pernah bersama Nabi sholAllahu
‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Pada suatu pagi ketika kami sedang
berjalan, aku berada di dekat beliau, maka aku berkata, Wahai Rasulullah
kabarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan
menjauhkan aku dari Neraka”.
Maka
beliau bersabda: “Sungguh engkau telah bertanya kepadaku tentang perkara yang
begitu besar akan tetapi akan terasa mudah bagi orang-orang yang dimudahkan
oleh Allah, engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan
suatu apapun, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji.”
Kemudian
beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Maukah aku tunjukkan kepadamu
pintu-pintu kebaikan? Berpuasa adalah perisai, sedekah dapat memadamkan
dosa-dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, demikian juga shalat
seseorang di tengah malam, kemudian beliau membacakan ayat, ‘…lambung-lambung
mereka jauh dari tempat tidur mereka…’ hingga ‘..apa yang telah mereka kerjakan’
[QS. As-Sajdah ; 17]
Kemudian
beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan urusan yang terpenting, tiang-tiang
penyanggahnya, dan puncak tertingginya ?” Saya katakan: “Tentu wahai Rasulullah”.
Maka beliau bersabda: “Urusan terpenting adalah Islam, tiang penopangnya adalah
shalat sedangkan puncak tertingginya (atapnya) adalah jihad”.
Kemudian
lanjutnya: “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua itu ?” Saya
menjawab: “Tentu wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya, lalu
bersabda: “Jagalah olehmu ini!” Aku bertanya: “Wahai Nabi Allah, apakah kami
akan disiksa dengan sebab perkataan yang kami ucapkan?”
Beliau
menjawab: “Ibumu kehilangan kamu ya Mu’adz, bukankah orang-orang itu tersungkur
di Neraka diatas wajah-wajah mereka atau diatas hidung-hidung mereka, tidak
lain disebabkan oleh ulah lisan-lisan mereka ?”
[HR.
Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Al-Irwa']
Hepi Andi Bastoni. 101 Sahabat Nabi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14809/inspiring-Mu’adz-bin-jabal-dai-muda-yang-kaya-raya-dan-lembut-hati/#ixzz1e13wCyEg
Hepi Andi Bastoni. 101 Sahabat Nabi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14809/inspiring-Mu’adz-bin-jabal-dai-muda-yang-kaya-raya-dan-lembut-hati/#ixzz1e13wCyEg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar