Selasa, 22 November 2011


Mu'adz bin Jabal adalah sahabat nabi yang berbai'at kepada Rasulullah. Ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Mu'adz terkenal sebagai cendekiawan dengan wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqh, dan bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang paling mengerti yang mana yang halal dan yang haram. Mu'adz juga merupakan duta besar Islam yang pertama kali yang dikirim Rasulullah.
Nama panjangnya adalah Mu’adz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, sedangkan nama julukannya adalah Abu Abdurahman. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun. Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan bergigi putih mengkilat. Mu’adz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72 orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah, yaitu pada Bai’atul ‘Aqabah kedua. Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah. Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat terkemuka seperti Amru bin al-Jamuh. Pada tahun hijrah, Rasulullah mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib.
Menjadi Duta Pertama di Yaman
Di usianya yang tergolong sangat muda, Rasulullah telah mengirimnya ke negeri Yaman untuk mengajarkan ilmu. Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"
"Kitabullah," jawab Mu'adz.  
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Mu’adz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.
Rasulullah bersabda kepadanya: “Sungguh, aku mencintaimu”.
Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".  
Cintanya pada Rasulullah
Dikisahkan dari Said bin Ziyad dari Khalid bin Saad, bahwa Mu'adz bin Jabal ra telah berkata: "Rasulullah SAW telah mengutusku ke Negeri Yaman untuk memberikan pelajaran agama di sana. Maka tinggallah aku di sana. Pada satu malam aku bermimpi dikunjungi oleh seseorang. Kemudian orang itu berkata kepadaku: "Apakah anda masih tidur juga wahai Mu'adz, padahal Rasulullah SAW telah berada di dalam tanah." Mu'adz terbangun dari tidur dengan rasa takut, lalu ia mengucapkan: "A'uzubillahi minasy syaitannir rajim?" Setelah itu ia lalu mengerjakan solat. Pada malam seterusnya, ia bermimpi seperti mimpi malam yang pertama. Mu'adz berkata: "Kalau seperti ini, bukanlah dari syaitan?" Kemudian ia memekik sekuat-kuatnya, sehingga didengar sebahagian penduduk Yaman.

Pada esok harinya orang ramai berkumpul, lalu Mu'adz berkata kepada mereka: "Malam tadi dan malam sebelumnya saya bermimpi yang sukar untuk difahami. Dahulu, bila Rasulullah SAW bermimpi yang sukar difahami, baginda membuka Mushaf (al-Quran). Maka berikanlah Mushaf kepadaku. Setelah Mu'adz menerima Mushaf, lalu dibukanya maka nampaklah firman Allah yang bermaksud:

"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula?" (Az-Zumar: 30).

Maka menjeritlah Mu'adz, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah ia sadar kembali, ia membuka Mushaf lagi, dan ia nampak firman Allah yang berbunyi:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada orang-orang yang bersyukur?" (Ali-lmran: 144).

Maka Mu'adz pun menjerit lagi: "Aduhai Abu-Qassim. Aduhai Muhammad?" Kemudian ia keluar meninggalkan Negeri Yaman menuju ke Madinah. Ketika ia akan meninggalkan penduduk Yaman, ia berkata: "Seandainya apa yang kulihat ini benar. Maka akan meranalah para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, dan kita akan menjadi seperti biri-biri yang tidak ada pengembala." Kemudian ia berkata: "Aduhai sedihnya berpisah dengan Nabi Muhammad SAW?" Lalu ia pun pergi meninggalkan mereka.

Di saat ia berada pada jarak lebih kurang tiga hari perjalanan dari Kota Madinah, tiba-tiba terdengar olehnya suara halus dari tengah-tengah lembah, yang mengucapkan firman Allah yang bermaksud: "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." Lalu Mu'adz mendekati sumber suara itu, setelah berjumpa, Mu'adz bertanya kepada orang tersebut: "Bagaimana kabar Rasulullah SAW? Orang tersebut menjawab: Wahai Mu'adz, sesungguhnya Muhammad SAW telah meninggal dunia. Mendengar ucapan itu Mu'adz terjatuh dan tak sadarkan diri. Lalu orang itu menyadarkannya, ia memanggil Mu'adz: Wahai Mu'adz sadarlah dan bangunlah." Ketika Mu'adz sadar kembali, orang tersebut lalu menyerahkan sepucuk surat untuknya yang berasal dari Abu Bakar Assiddiq, dengan cop dari Rasulullah SAW. Tatkala Mu'adz melihatnya, ia lalu mencium cop tersebut dan diletakkan di matanya, kemudian ia menangis dengan tersedu-sedu. Setelah puas ia menangis ia pun melanjutkan perjalanannya menuju Kota Madinah.

Mu'adz sampai di Kota Madinah pada waktu fajar menyingsing. Didengarnya Bilal sedang mengumandangkan azan Subuh. Bilal mengucapkan: "Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah?" Mu'adz menyambungnya: "Wa Asyhadu Anna Muhammadur Rasulullah?" Kemudian ia menangis dan akhirnya ia jatuh dan tak sadarkan diri lagi. Pada saat itu, di samping Bilal bin Rabah ada Salman Al-Farisy ra lalu ia berkata kepada Bilal: "Wahai Bilal sebutkanlah nama Muhammad dengan suara yang kuat dekatnya, ia adalah Mu'adz yang sedang pingsan. Ketika Bilal selesai azan, ia mendekati Mu'adz, lalu ia berkata: "Assalamualaika, angkatlah kepalamu wahai Mu'adz, aku telah mendengar dari Rasulullah SAW, baginda bersabda: "Sampaikanlah salamku kepada Mu'adz." Maka Mu'adz pun mengangkatkan kepalanya sambil menjerit dengan suara keras, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia telah menghembus nafas yang terakhir, kemudian ia berkata: "Demi ayah dan ibuku, siapakah yang mengingatkan aku pada baginda, ketika baginda akan meninggalkan dunia yang fana ini, wahai Bilal? Marilah kita pergi ke rumah istri baginda Siti Aisyah ra."

Ketika sampai di depan pintu rumah Siti Aisyah, Mu'adz mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahlil bait, wa rahmatullahi wa barakatuh?" Yang keluar ketika itu adalah Raihanah, ia berkata: "Aisyah sedang pergi ke rumah Siti Fatimah. Kemudian Mu'adz menuju ke rumah Siti Fatimah dan mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahli bait." Siti Fatimah menyambut salam tersebut, kemudian ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: Orang yang paling alim di antara kamu tentang perkara halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal, ia adalah kekasih Rasulullah SAW."

Kemudian Fatimah berkata lagi: "Masuklah wahai Mu'adz?" Fatimah ra lalu berkata kepadanya: "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sampaikanlah salam saya kepada Mu'adz dan kabarkan kepadanya bahwa ia kelak di hari kiamat sebagai imam ulama." Kemudian Mu'adz bin Jabal keluar dari rumah Fatimah ra menuju ke arah kubur Rasulullah SAW.
Pesonanya
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab.
Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.  Dalam halaqah tersebut ia dapati seorang anak muda yang tampan, kulitnya hitam manis, bersih, dan baik tutur katanya. Usianya paling muda di antara yang lainnya. Jika mereka mendapati keraguan terhadap suatu hadits, mereka menanyakannya kepada anak muda itu dan ia segera memberikan fatwanya. Dan ia tidak berbicara kecuali bila diminta. Dan ketika majlis itu berakhir, ‘Aidzullah menanyakan siapa namanya. Dan ia menjawab, saya adalah Mu’adz bin Jabal.
Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya." Dan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"
Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara". Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun!
Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.
Muda, Cerdas, Sholeh, Sukses
Di Yaman selain berdakwah menyebarkan dan mengajarkan Islam, Mu’adz bin Jabal juga berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Karena kepandaian dan ketekunannya pulalah, maka ia berhasil meningkatkan omset dagangnya dan berubah menjadi pribadi yang kaya raya, santun dan faqih. Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu’adz masih berada di Yaman. Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke Madinah, dan di awal kedatangannya terjadi sebuah kisah indah penuh ukhuwah antara Mu’adz, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan pribadinya meningkat tajam dari beberapa tahun sebelumnya. Seperti biasa, ketegasan dan kewaspadaan ala Umar bin Khattab berjalan, beliau sebagai penasehat khalifah segera mengusulkan kepada Abu Bakar agar membagi dua kekayaan Mu’adz dan menyerahkannya kepada negara, sebagai bentuk kehati-hatian sebagai pengelola negara. Abu Bakar tidak segera menyetujui usulan dari Umar, namun tanpa menunggu persetujuan Abu Bakar, secara pribadi Umar bersegera mendatangi Mu’adz untuk datang sebagai sahabat.
Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat.

Mu’adz bin Jabal sebagaimana kita ketahui dalam testimoni Rasulullah SAW, adalah orang yang paham tentang halal dan haram. Termasuk halal dan haram dalam transaksi dan perdagangan. Ia tidak mengenal bertransaksi dengan unsur maysir (spekulasi), ghoror (tipuan), gheis (curang) apalagi ikhtikar (menimbun barang) dan riba. Kekayaan yang didapat pun tak lebih dari buah ketekunan dan kecerdasan, yang mendapatkan taufiq dari ar-rozzaq Allah SWT, jauh dari segala syubhat apalagi yang haram.
Maka ketika Umar datang ke rumahnya dan mengemukakan usulannya untuk membagi dua harta tersebut, Mu’adz pun menolak dengan argumen yang cerdas dan hujjah yang kuat.  Diskusi hangat dua sahabat mulia itu pun berakhir dan Umar berpamitan meninggalkannya. Sungguh ia tidak hasad dan iri dengan kekayaan Mu’adz, tidak pula ia menuduh Mu’adz bermaksiat dengan mencari jalan haram dalam menumpuk kekayaan, namun ia hanya takut karena saat itu Islam sedang mengalami kejayaan dan kegemilangan, di luar sana banyak tokoh-tokoh yang memanfaatkan hal tersebut dengan bergelimang harta tanpa kejelasan sumber halalnya. Inilah yang ditakuti Umar, tidak lebih.
Hari itu, Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula. Kemudian Umar berpaling meninggalkannya. Namun, pagi-pagi keesokan harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"
Nampaknya mimpi tersebut membuat Mu’adz ingin segera menuruti usulan Umar bin Khattab untuk membagi dua harta kekayaannya yang diperoleh dari Yaman.  Maka keduanya pun segera menghadap Abu Bakar, dan Mu’adz pun mengutarakan niatnya, meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya.
Namun apa jawab khalifah Abu Bakar yang mulia? Khalifah yang timbangan imannya tak tertandingi oleh penghuni bumi ini menolak dengan tegas, ia mengatakan: “Tidak satu pun yang akan saya ambil darimu”.  Abu Bakar tahu dan yakin bahwa Mu’adz memperoleh kekayaan dari jalan yang baik, maka ia tidak ingin mengambil satu dirham pun dari harta sahabatnya tersebut, yang itu berarti kezhaliman dan akan berbuah kehinaan di akhirat.
Mu’adz belum puas dengan jawaban sang khalifah, ia pun menoleh dan meminta pendapat Umar bin Khattab, ia teringat dengan mimpinya semalam yang begitu mendebarkan. Apa komentar Umar sebagai pihak yang mengawali usulan pembagian harta tersebut, ia berujar singkat: “ Cukup, sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik”.  Subhanallah, kegelisahan pun berakhir dengan kehangatan ukhuwah dan kemuliaan iman.
Masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.
Subhanallah
Wafatnya
Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.  Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri. Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah hebat di Urdun tempat ia mengajar sebagai utusan khalifah Umar bin Khattab. Saat itu usianya 33 tahun.
Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketaatan."
Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah
Kutipan Kisah Bersama Rasulullah, Kekasih yang Dicintainya
Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."

Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.

Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"
"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.
"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"
"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."
Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!"

Kisah lainnya:
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu‘anhu berkata: “Saya pernah bersama Nabi sholAllahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Pada suatu pagi ketika kami sedang berjalan, aku berada di dekat beliau, maka aku berkata, Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka”.
Maka beliau bersabda: “Sungguh engkau telah bertanya kepadaku tentang perkara yang begitu besar akan tetapi akan terasa mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah, engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji.”
 Kemudian beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Berpuasa adalah perisai, sedekah dapat memadamkan dosa-dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, demikian juga  shalat seseorang di tengah malam, kemudian beliau membacakan ayat, ‘…lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka…’ hingga ‘..apa yang telah mereka kerjakan’ [QS. As-Sajdah ; 17] 
Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan urusan yang terpenting, tiang-tiang penyanggahnya, dan puncak tertingginya ?” Saya katakan: “Tentu wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda: “Urusan terpenting adalah Islam, tiang penopangnya adalah shalat sedangkan puncak tertingginya (atapnya) adalah jihad”.
 Kemudian lanjutnya: “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua itu ?” Saya menjawab: “Tentu wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya, lalu bersabda: “Jagalah olehmu ini!” Aku bertanya: “Wahai Nabi Allah, apakah kami akan disiksa dengan sebab perkataan yang kami ucapkan?”
Beliau menjawab: “Ibumu kehilangan kamu ya Mu’adz, bukankah orang-orang itu tersungkur di Neraka diatas wajah-wajah mereka atau diatas hidung-hidung mereka, tidak lain disebabkan oleh ulah lisan-lisan mereka ?”
[HR. Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa']

Hepi Andi Bastoni. 101 Sahabat Nabi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14809/inspiring-Mu’adz-bin-jabal-dai-muda-yang-kaya-raya-dan-lembut-hati/#ixzz1e13wCyEg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar