Selasa, 22 November 2011

Zaid bin Tsabit (Radhiyallahu Anhu)


Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari (612 - 637/15 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Zaid bin Tsabit, adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW dan merupakan penulis wahyu dan surat-surat Rasulullah SAW. Ia memiliki gelar “Jami’ al-Quran al-Karim”(pengumpul al-Qur’an) dan syeikh al-muqiriin. Beliau sering memberikan fatwa, memutuskan perkara yang disengketakan dan mengajarkan ilmu faroidh (pembagian harta warisan). Beliau termasuk diantara sahabat yang cerdas dan pintar. Di antara para sahabat yang dikenal sebagai penghafal Al-Qur'an dan penulisnya adalah Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhum ajma'in.
Zaid bin Tsabit lahir di Madinah sebelas tahun sebelum Hijriah. Zaid bin Tsabit merupakan keturunan Bani Khazraj. Ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Zaid bin Tsabit masuk Islam bersama-sama keluarganya. Walaupun masih kecil, ia adalah anak yang berani dan patuh terhadap ajaran agama. Ketika pasukan Islam berangkat ke medan perang Badar ia ingin ikut bersama ayahnya. Tetapi dilarang Rasulullah (shalallahu alahi wasallam), karena ia masih terlalu kecil untuk ikut berperang.

Simbol Keberanian dan Kecerdasan di Usia Belia

Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.” Rasulullah menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliaumenepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya masih sangat muda.

Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya. Ibu anak itu, Nuwar binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angannya terbayang, alangkah bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW. Tetapi anak Anshar yang cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia. Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu berdekatan dengan Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.
Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira buahpikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya. Nuwar memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan ditempuh anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui  Rasulullah. Kata mereka, “Wahai Rasulullah! Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki, silakan mendengarkan bacaannya.
Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Quran yang telah dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat Al-Quran bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa yang dibacanya. Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai Zaid bin Tsabit, ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Terlebih lagi, Zaid bin Tsabit pandai menulis dan membaca.
Zaid diperintahkan Rasulullah mempelajari bahasa Ibrani (Yahudi). Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi, Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.
Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid berhasil menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau untuk kedua bahasa tersebut.
Rasulullah SAW berkata kepadanya "Aku berkirim surat kepada orang, dan aku khawatir, mereka akan menambah atau mengurangi surat-suratku itu, maka pelajarilah bahasa Suryani", kemudian aku mempelajarinya selama 17 hari, dan bahasa Ibrani selama 15 hari.

Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan, ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit (al-Quran). Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil Zaid, laludibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al-Quran didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat.

Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat turun. Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang berhubungan. Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Quran, dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasia syariat Islam, sementara dia mengkhususkan diri dengan Al-Qur’an.
Selain menjadi sekretaris Rasulullah (shalallahu alahi wasallam), pemuda cerdas ini turut serta bersama Nabi Muhammad (shalallahu alahi wasallam) dalam perang Khandaq (ahzab) dan peperangan lainnya. Dalam peperangan Tabuk, Nabi Muhammad (shalallahu alahi wasallam)  menyerahkan bendera Bani Najjar yang sebelumnya dibawa oleh Umarah kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Al-Quran harus diutamakan, sedang Zaid lebih banyak menghafal Al-Quran daripada engkau."
Selama berjuang dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan kurang lebih 93 hadits, yang lima daripadanya disepakati bersama oleh Iman Bukhari dan Imam Muslim. Bukhari juga meriwayatkan empat hadits yang lainnya bersumberkan dari Zaid bin Tsabit, sementara Muslim meriwayatkan satu hadits lainnya yang bersumberkan dari Zaid bin Tsabit.

Di antara hadits riwayatnya itu, diceritakan bahwa pada suatu malam di bulan puasa kami makan sahur bersama Rasulullah. Setelah itu kami shalat. Zaid bertanya, "Berapa lama antara waktu sahur dengan waktu shalat?" Rasulullah menjawab, "Kurang lebih lima puluh ayat." (HR. Bukhari Muslim).

Tugas Berat, Pengumpul Al-Quran
Di kemudian hari setelah Rasulullah wafat, pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin Tsabit adalah salah seorang yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali Al-Quran dalam satu mushaf

Setelah wafatnya Rasulullah, banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dengan tidak bersedia membayar zakat. Khalifah Abu Bakar Shidiq melihat hal ini sebagai ancaman bagi perkembangan Islam. Kaum murtad harus dibasmi. Maka terjadilah perang yang sangat banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Tujuh puluh orang penghafal Al-Quran gugur dalam perang tersebut

Umar bin Khattab merasa khawatir akan kelestarian Al-Quran dengan banyaknya para penghafal Al-Quran yang gugur. Ia lalu mengusulkan kepada khalifah untuk menghimpun ayat-ayat Al-Quran. Setelah sebelumnya sempat tidak setuju, Khalifah Abu Bakar akhirnya menyetujui rencana mulia itu. Beliau lalu mempercayakan tugas besar dan berat itu kepada Zaid bin Tsabit. Beliau memanggil Zaid bin Tsabit dan kemudian mengatakan kepadanya:
"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu".
Zaid yang tak pernah menduga mendapat tugas seperti ini memberikan jawaban: "Demi Allah, mengapa engkau akan lakukan sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan? Sungguh ini pekerjaan berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah seberat tugas yang kuhadapi kali ini." Meskipun pada awalnya ia menolak, namun setelah diyakinkan akhirnya Zaid bin Tsabit dengan bantuan beberapa orang lainnya (tim khusus) menjalankan tugas tersebut.

Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu Zaid bekerja dengan amat teliti dan cermat. Zaid membuat dua butir persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan satu persyaratan lagi. Ketiga persyaratan tersebut adalah:
1. Ayat/surat tersebut harus dihafal paling sedikit 2 orang.
2. Harus ada dalam bentuk tertulisnya (di batu, tulang, kulit dan bentuk lainnya).
3. Untuk yang tertulis, paling tidak harus ada 2 orang saksi yang melihat saat dituliskannya.
Walaupun ia hafal Al-Quran seluruhnya, tetapi untuk keperluan pengumpulan Al-Qur an yang sangat penting bagi umat Islam, ia masih memandang perlu untuk mencocokkan hafalannya dengan catatan para sahabat yang lain dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan cara demikian Al-Quran telah ditulis dan disusun seluruhnya oleh Zaid dalam lembaran-Iembaran dan diikat dengan benang, tersusun menurut ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Mushaf Al-Quran itu kemudian diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar.
Mengenai kedalaman ilmunya, Ibn Abbas berkata: “Sebagaimana diketahui bahwa para penghafal al-Quran dari kalangan sahabat dan Zaid bin Tsabit termasuk orang-orang luas ilmunya”. 

Pada masa kekhalifahan pemerintahan Utsman bin Affan, Zaid bin Tasbit ditugaskan kembali menjadi ketua tim penyusun mushaf. Sungguh, hal ini merupakan kedudukan mulia dan tugas yang teramat berat. Tugas yang hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan kecerdasan luar biasa dan keluasan ilmu.

Zaid bin Tsabit diangkat menjadi bendahara pada zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Ketika pemerintahan Khalifah Utsman, Zaid bin Tsabit diangkat menjadi pengurus Baitul Maal. Umar dan Utsman juga mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai pemegang jabatan khalifah sementara ketika mereka menunaikan ibadah haji.
Keutamaan Lain
Di antara keutamaan yang dilimpahkan Al-Quran terhadap Zaid bin Tsabit, dia pernah memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah) Rasulullah sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, “Pihak kamilah yang lebih pantas.” Kata sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya.” Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum dimakamkan. Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Quran yang sanggup mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu. Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya orang-orang Anshar.
Katanya, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah orang Muhajirin. Karena itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”
Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar Ash-Shidiq seraya berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian kepadanya!” Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Quran telah mengangkatnya menjadi penasihat kaum muslimin.
Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada di antara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari pada Zaid.

Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai, manusia! Siapa yang
ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak
bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak bertanya
tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah
menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”

Kedalaman Ilmu

Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.
Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan hewan yang sedang dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan saja hewan itu, wahai anak paman Rasulullah!” Jawab Ibnu Abbas, “Beginilah kami diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.” Kata Zaid, “Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!” Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga Nabi kami.”

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meski dikenal sangat pandai dan banyak memahami tentang ajaran Islam, tidak segan-segan datang ke tempat Zaid untuk menimba ilmu. Ibnu Abbas berkata, "Ilmu itu dicari bukan datang sendiri."

Kehidupannya dalam Keluarga

Meskipun sibuk dengan urusan agama, beliau tidak pernah melupakan tugas sebagai suami dalam keluarga. Sebagaimana Rasulullah sabdakan, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang baik dengan istrinya. Dan saya lah orang yang baik dengan istri.”(HR.Bukhori Muslim). Dari Tsabit bin ‘Ubaid berkata; “Zaid bin Tsabit adalah manusia paling ceria dengan keluarganya.”


Wafatnya Pemilik Ilmu
Beliau wafat pada tahun 45 Hijriah di Madinah. Setelah wafatnya Hassan bin Tsabit meratapinya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini orang yang paling alim di umat Islam telah wafat, semoga Allah memberikan ganti dari keluarga Ibn Abbas.” Beliau meninggalkan seorang anak bernama Khorijah bin Zaid, salah seorang ahli fikih tujuh yang terkenal di Madinah. Anaknya termasuk dari golongan tabi’in yang sangat berpengaruh.
Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam. Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan Ibnu Abbas.” Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai sajak yang indah,
Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin!

Sumber:
Mursi, Muhammad Sa'id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. ISBN 979-592-387-0
Abdurrahman Ra'fat Basya. 2002. Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah Saw. Shuwarum Min Hayatis Shahabah. Penerjemah Ma'mur Daud. -- jil. 1, jil. 2, jil. 3 -- Cet. 2 -- Jakart: Media da'wah. ISBN: 9798736356; 9798736364; 9798736372

Tidak ada komentar:

Posting Komentar