Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari (612 - 637/15 H) atau
yang lebih dikenal dengan nama Zaid bin Tsabit, adalah salah seorang sahabat Rasulullah
SAW dan merupakan penulis wahyu dan surat-surat
Rasulullah SAW. Ia memiliki gelar “Jami’ al-Quran al-Karim”(pengumpul
al-Qur’an) dan syeikh al-muqiriin. Beliau sering memberikan fatwa, memutuskan
perkara yang disengketakan dan mengajarkan ilmu faroidh (pembagian harta
warisan). Beliau termasuk diantara sahabat yang cerdas dan pintar. Di antara para sahabat yang
dikenal sebagai penghafal Al-Qur'an dan penulisnya adalah Ali bin Abi Thalib,
Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit
radhiyallahu 'anhum ajma'in.
Zaid bin Tsabit lahir di Madinah sebelas tahun
sebelum Hijriah. Zaid bin Tsabit merupakan keturunan Bani Khazraj. Ketika
Rasulullah berhijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Zaid bin Tsabit masuk
Islam bersama-sama keluarganya. Walaupun masih kecil, ia adalah anak yang
berani dan patuh terhadap ajaran agama. Ketika pasukan Islam berangkat ke medan
perang Badar ia ingin ikut bersama ayahnya. Tetapi dilarang Rasulullah (shalallahu
alahi wasallam), karena ia masih terlalu kecil untuk ikut berperang.
Simbol Keberanian
dan Kecerdasan di Usia Belia
Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki
berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil,
hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi
badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan
menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati
untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi
musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.” Rasulullah menengok kepada anak itu dengan
pandangan gembira dan takjub. Beliaumenepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih
dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya masih
sangat muda.
Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia
sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama
yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya. Ibu anak itu, Nuwar binti Malik,
yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia
ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu
dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angannya
terbayang, alangkah bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW. Tetapi anak Anshar yang
cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil
mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat
muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia.
Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu berdekatan dengan
Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.
Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira
buahpikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya. Nuwar
memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan
ditempuh anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui Rasulullah. Kata mereka, “Wahai Rasulullah!
Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah
kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah
dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang
ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki,
silakan mendengarkan bacaannya.
Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Quran
yang telah dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat
Al-Quran bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan
langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya
dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa yang
dibacanya. Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai
Zaid bin Tsabit, ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya.
Terlebih lagi, Zaid bin Tsabit pandai menulis dan membaca.
Zaid diperintahkan Rasulullah mempelajari bahasa Ibrani (Yahudi).
Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani
dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah
menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila
Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit
dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi,
Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.
Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid
berhasil menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan
menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid
yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau
untuk kedua bahasa tersebut.
Rasulullah SAW berkata kepadanya "Aku berkirim surat
kepada orang, dan aku khawatir, mereka akan menambah atau mengurangi
surat-suratku itu, maka pelajarilah bahasa
Suryani",
kemudian aku mempelajarinya selama 17 hari, dan bahasa
Ibrani
selama 15 hari.
Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan,
ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit
(al-Quran). Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil
Zaid, laludibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin
Tsabit menulis Al-Quran didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap
sesuai dengan turunnya ayat.
Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat
turun. Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang
berhubungan. Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Quran,
dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasia syariat Islam, sementara dia mengkhususkan
diri dengan Al-Qur’an.
Selain menjadi sekretaris Rasulullah (shalallahu alahi wasallam),
pemuda cerdas ini turut serta bersama Nabi Muhammad (shalallahu alahi wasallam)
dalam perang Khandaq (ahzab) dan peperangan lainnya. Dalam peperangan Tabuk, Nabi
Muhammad (shalallahu alahi wasallam)
menyerahkan bendera Bani Najjar yang sebelumnya dibawa oleh Umarah
kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya kepada Rasulullah SAW, ia
berkata: "Al-Quran harus diutamakan, sedang Zaid lebih banyak menghafal
Al-Quran daripada engkau."
Selama berjuang dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan kurang lebih 93 hadits, yang lima
daripadanya disepakati bersama oleh Iman Bukhari dan Imam Muslim. Bukhari juga
meriwayatkan empat hadits yang lainnya bersumberkan dari Zaid bin Tsabit,
sementara Muslim meriwayatkan satu hadits lainnya yang bersumberkan dari Zaid
bin Tsabit.
Di antara hadits riwayatnya itu, diceritakan bahwa pada suatu malam di bulan puasa kami makan sahur bersama Rasulullah. Setelah itu kami shalat. Zaid bertanya, "Berapa lama antara waktu sahur dengan waktu shalat?" Rasulullah menjawab, "Kurang lebih lima puluh ayat." (HR. Bukhari Muslim).
Tugas Berat, Pengumpul Al-Quran
Di kemudian hari setelah Rasulullah wafat, pada
zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin Tsabit adalah salah seorang
yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali Al-Quran dalam satu
mushaf.
Setelah wafatnya Rasulullah, banyak di antara
orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dengan tidak bersedia
membayar zakat. Khalifah Abu Bakar Shidiq melihat hal ini sebagai ancaman bagi
perkembangan Islam. Kaum murtad harus dibasmi. Maka terjadilah perang yang
sangat banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Tujuh puluh orang
penghafal Al-Quran gugur dalam perang tersebut.
Umar bin Khattab merasa khawatir akan
kelestarian Al-Quran dengan banyaknya para penghafal Al-Quran yang gugur. Ia
lalu mengusulkan kepada khalifah untuk menghimpun ayat-ayat Al-Quran. Setelah
sebelumnya sempat tidak setuju, Khalifah Abu Bakar akhirnya menyetujui rencana
mulia itu. Beliau lalu mempercayakan tugas besar dan berat itu kepada Zaid bin
Tsabit. Beliau memanggil Zaid bin Tsabit dan kemudian mengatakan kepadanya:
"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak
meragukanmu".
Zaid yang tak pernah menduga mendapat tugas
seperti ini memberikan jawaban: "Demi Allah, mengapa engkau akan lakukan
sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan? Sungguh ini pekerjaan berat bagiku.
Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu
tidaklah seberat tugas yang kuhadapi kali ini." Meskipun pada awalnya ia
menolak, namun setelah diyakinkan akhirnya Zaid bin Tsabit dengan bantuan
beberapa orang lainnya (tim khusus) menjalankan tugas tersebut.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu Zaid bekerja dengan amat teliti
dan cermat. Zaid membuat dua butir persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian Khalifah
Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan satu persyaratan lagi. Ketiga persyaratan
tersebut adalah:
1. Ayat/surat tersebut harus dihafal paling sedikit 2 orang.
2. Harus ada dalam bentuk tertulisnya (di batu, tulang, kulit dan bentuk
lainnya).
3. Untuk yang tertulis, paling tidak harus ada 2 orang saksi yang melihat saat
dituliskannya.
Walaupun ia hafal Al-Quran seluruhnya, tetapi
untuk keperluan pengumpulan Al-Qur an yang sangat penting bagi umat Islam, ia
masih memandang perlu untuk mencocokkan hafalannya dengan catatan para sahabat
yang lain dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan cara demikian Al-Quran
telah ditulis dan disusun seluruhnya oleh Zaid dalam lembaran-Iembaran dan
diikat dengan benang, tersusun menurut ayat-ayatnya sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah. Mushaf Al-Quran itu kemudian diserahkan kepada
Khalifah Abu Bakar.
Mengenai kedalaman ilmunya, Ibn Abbas berkata:
“Sebagaimana diketahui bahwa para penghafal al-Quran dari kalangan sahabat dan
Zaid bin Tsabit termasuk orang-orang luas ilmunya”.
Pada masa kekhalifahan pemerintahan Utsman bin
Affan, Zaid bin Tasbit ditugaskan kembali menjadi ketua tim penyusun mushaf.
Sungguh, hal ini merupakan kedudukan mulia dan tugas yang teramat berat. Tugas
yang hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan kecerdasan luar biasa dan
keluasan ilmu.
Zaid bin Tsabit diangkat menjadi bendahara pada zaman pemerintahan Khalifah Abu
Bakar dan Khalifah Umar. Ketika
pemerintahan Khalifah
Utsman, Zaid bin Tsabit diangkat menjadi pengurus
Baitul Maal. Umar dan Utsman juga mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai pemegang
jabatan khalifah sementara ketika mereka menunaikan ibadah haji.
Keutamaan Lain
Di antara keutamaan yang dilimpahkan Al-Quran terhadap Zaid bin
Tsabit, dia pernah memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai
pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah) Rasulullah
sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, “Pihak kamilah yang lebih pantas.” Kata
sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat
seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami
untuk menyertainya.” Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di
kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum
dimakamkan. Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Quran yang
sanggup mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu.
Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya
orang-orang Anshar.
Katanya, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah
orang Muhajirin. Karena itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita
adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita
menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan
memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”
Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada
Abu Bakar Ash-Shidiq seraya berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian
kepadanya!” Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Quran
telah mengangkatnya menjadi penasihat kaum muslimin.
Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam
perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang
hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada di antara
kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari pada
Zaid.
Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai,
manusia! Siapa yang
ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang
hendak
bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak
bertanya
tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
telah
menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”
Kedalaman
Ilmu
Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari
para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan
memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.
Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu
Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan hewan yang sedang
dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang
talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan
saja hewan itu, wahai anak paman Rasulullah!” Jawab Ibnu Abbas, “Beginilah kami
diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.” Kata Zaid, “Coba perlihatkan
tangan Anda kepada saya!” Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid
bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah
caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga Nabi kami.”
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meski dikenal
sangat pandai dan banyak memahami tentang ajaran Islam, tidak segan-segan
datang ke tempat Zaid untuk menimba ilmu. Ibnu Abbas berkata, "Ilmu itu
dicari bukan datang sendiri."
Kehidupannya
dalam Keluarga
Meskipun sibuk dengan urusan agama, beliau
tidak pernah melupakan tugas sebagai suami dalam keluarga. Sebagaimana
Rasulullah sabdakan, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang baik dengan
istrinya. Dan saya lah orang yang baik dengan istri.”(HR.Bukhori Muslim). Dari
Tsabit bin ‘Ubaid berkata; “Zaid bin Tsabit adalah manusia paling ceria dengan
keluarganya.”
Wafatnya Pemilik Ilmu
Beliau wafat pada tahun 45 Hijriah di Madinah. Setelah wafatnya
Hassan bin Tsabit meratapinya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini orang yang
paling alim di umat Islam telah wafat, semoga Allah memberikan ganti dari
keluarga Ibn Abbas.” Beliau meninggalkan seorang anak bernama Khorijah bin
Zaid, salah seorang ahli fikih tujuh yang terkenal di Madinah. Anaknya termasuk
dari golongan tabi’in yang sangat berpengaruh.
Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin
menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam. Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu
umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan Ibnu Abbas.” Penyair Rasulullah,
Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai
sajak yang indah,
Siapakah lagi merangkai sajak
sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin!
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin!
Sumber:
Mursi, Muhammad
Sa'id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI
dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007. ISBN 979-592-387-0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar