Fi Zhilalil Qur’an “Di Bawah Naungan Al-Qur’an”. Hidup di
bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti
kecuali oleh yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat usia manusia,
menjadikannya diberkahi, dan menyucikannya.
Segala puji milik Allah yang telah memberiku karunia dengan
hidup di bawah naungan Al-Qur’an dalam suatu rentang waktu, yang kurasakan
nikmatnya yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dalam hidupku. Kurasakan
nikmat ini dalam hidupkum yang menjadikan usiaku bermakna, diberkahi, dan suci
bersih.
Kutempuh hidup dengan kudengar Allah yang Mahasuci berbicara
kepadaku dengan Al-Qur’an ini, padahal aku sejumput hamba yang kecil. Adakah
penghormatan bagi manusia seperi penghormatan yang tinggi dan mulia seperti ini?
Adakah pemaknaan dan peningkatan harkat usia seperti yang diberikan oleh Al-Qur’an
ini? Kedudukan manakah yang lebih mulia yang diberikan oleh Pencipta Yang
Mahamulia kepada manusia?
Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an. Dari tempat yang
tinggi, kulihat kejahiliahan yang bergelombang di muka bumi. Kulihat pula
kepentingan-kepentingan penghuninya yang kecil tak berarti. Kulihat kekaguman
orang-orang jahiliah terhadap apa yang mereka miliki bagaikan kanak-kanak;
pikiran-pikiran, kepentingan, dan perhatiannya bagaikan anak kecil. Ketika
kulihat mereka, aku bagaikan seorang dewasa yang melihat permainan anak-anak
kecil, pekerjaan anak-anak kecil dan tutur katanya yang pelat seperti anak kecil.
Mengapakah manusia-manusia ini? Mengapa mereka terbenam
dalam lumpur lingkungan, tanpa bias dan mau mendengar seruan yang luhurdan mulia. Seruan yang mengangkat harkat
kehidupan, menjadikannya diberkahi dan menyucikannya?
Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an sambil bersenang-senang
dengan menikmati gambaran yang sempurna, lengkap, tinggi, dan bersih bagi alam
wujud ini, tentang tujuan alam wujud ini seluruhnya dan tujuan wujud manusia.
Kubandingkan dengan konsepsi jahiliah tempat manusia hidup, di timur dan di
barat, di utara dan selatan, dan aku bertanya,”Bagaimanakah manusia hidup di
dalam kubangan yang busuk, di daratan paling rendah, dan di dalam kegelapan
yang hitam pekat, sementara di sisinya ada tempat yang subur, tempat pendakian
yang tinggi, dan cahaya yang cemerlang?”
Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an; aku rasakan simfoni
yang indah antara gerak kehidupan manusia yang dikehendaki Allah dan gerak alam
semesata yang diciptakan-Nya. Kemudian, kuperhatikan lagi kehidupan jahiliah
maka terlihat olehku kejatuhan yangdialami manusia karena menyimpang dari sunnah kauniyah dan benturan
antara ajaran-ajaran yang rusak serta jahat yang telah lama kemanusiaan
bercokol di atasnya dan fitrah yang diciptakan Allah untuknya. Aku berkata
dalam hati, “setan keparat manakah gerangan yang telah memimbing langkah mereka
ke neraka jahim ini”
Wahai betapa ruginya manusia ini!!!
…..
(Syeikh Sayyid Quthb, dikutip dari potongan Mukadimah
buku Fi Zhilalil Qur'an)
Selasa, 22 November 2011
Mu'adz bin Jabal adalah sahabat nabi yang berbai'at kepada Rasulullah. Ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Mu'adz terkenal sebagai cendekiawan dengan
wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqh, dan bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang paling mengerti yang mana yang halal dan yang haram. Mu'adz
juga merupakan duta besar Islam yang pertama kali yang dikirim Rasulullah.
Nama panjangnya adalah Mu’adz
bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, sedangkan nama julukannya adalah Abu
Abdurahman. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun.
Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan
bergigi putih mengkilat. Mu’adz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72
orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah, yaitu pada Bai’atul ‘Aqabah
kedua. Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di
dalam masyarakat Madinah. Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat
terkemuka seperti Amru bin al-Jamuh. Pada tahun hijrah, Rasulullah
mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib.
Menjadi Duta Pertama di
Yaman
Di
usianya yang tergolong sangat muda, Rasulullah telah mengirimnya ke negeri
Yaman untuk mengajarkan ilmu. Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki
sedangkan Mu’adz berkendaraan. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke
Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili
sesuatu, hai Mu'adz?"
"Kitabullah,"
jawab Mu'adz.
"Bagaimana
jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya
putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika
tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiranku
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Mu’adz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh
Rasulullah," sabda beliau.
Rasulullah bersabda kepadanya: “Sungguh, aku mencintaimu”.
Dan
mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu
fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah
sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".
Cintanya pada
Rasulullah
Dikisahkan
dari Said bin Ziyad dari Khalid bin Saad, bahwa Mu'adz bin Jabal ra telah
berkata: "Rasulullah SAW telah mengutusku ke Negeri Yaman untuk memberikan
pelajaran agama di sana. Maka tinggallah aku di sana. Pada satu malam aku
bermimpi dikunjungi oleh seseorang. Kemudian orang itu berkata kepadaku:
"Apakah anda masih tidur juga wahai Mu'adz, padahal Rasulullah SAW telah
berada di dalam tanah." Mu'adz terbangun dari tidur dengan rasa takut,
lalu ia mengucapkan: "A'uzubillahi minasy syaitannir rajim?" Setelah
itu ia lalu mengerjakan solat. Pada malam seterusnya, ia bermimpi seperti mimpi
malam yang pertama. Mu'adz berkata: "Kalau seperti ini, bukanlah dari
syaitan?" Kemudian ia memekik sekuat-kuatnya, sehingga didengar sebahagian
penduduk Yaman.
Pada
esok harinya orang ramai berkumpul, lalu Mu'adz berkata kepada mereka:
"Malam tadi dan malam sebelumnya saya bermimpi yang sukar untuk difahami.
Dahulu, bila Rasulullah SAW bermimpi yang sukar difahami, baginda membuka
Mushaf (al-Quran). Maka berikanlah Mushaf kepadaku. Setelah Mu'adz menerima
Mushaf, lalu dibukanya maka nampaklah firman Allah yang bermaksud:
"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula?"
(Az-Zumar: 30).
Maka menjeritlah Mu'adz, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah ia sadar
kembali, ia membuka Mushaf lagi, dan ia nampak firman Allah yang berbunyi:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada
orang-orang yang bersyukur?" (Ali-lmran: 144).
Maka Mu'adz pun menjerit lagi: "Aduhai Abu-Qassim. Aduhai Muhammad?"
Kemudian ia keluar meninggalkan Negeri Yaman menuju ke Madinah. Ketika ia akan
meninggalkan penduduk Yaman, ia berkata: "Seandainya apa yang kulihat ini
benar. Maka akan meranalah para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin,
dan kita akan menjadi seperti biri-biri yang tidak ada pengembala."
Kemudian ia berkata: "Aduhai sedihnya berpisah dengan Nabi Muhammad SAW?"
Lalu ia pun pergi meninggalkan mereka.
Di
saat ia berada pada jarak lebih kurang tiga
hari perjalanan dari Kota Madinah, tiba-tiba terdengar olehnya suara halus dari
tengah-tengah lembah, yang mengucapkan firman Allah yang bermaksud:
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." Lalu Mu'adz
mendekati sumber suara itu, setelah berjumpa, Mu'adz bertanya kepada orang
tersebut: "Bagaimana kabar Rasulullah SAW? Orang tersebut menjawab: Wahai
Mu'adz, sesungguhnya Muhammad SAW telah meninggal dunia. Mendengar ucapan itu Mu'adz
terjatuh dan tak sadarkan diri. Lalu orang itu menyadarkannya, ia memanggil
Mu'adz: Wahai Mu'adz sadarlah dan bangunlah." Ketika Mu'adz sadar kembali,
orang tersebut lalu menyerahkan sepucuk surat untuknya yang berasal dari Abu
Bakar Assiddiq, dengan cop dari Rasulullah SAW. Tatkala Mu'adz melihatnya, ia
lalu mencium cop tersebut dan diletakkan di matanya, kemudian ia menangis
dengan tersedu-sedu. Setelah puas ia menangis ia pun melanjutkan perjalanannya
menuju Kota Madinah.
Mu'adz sampai di Kota Madinah pada
waktu fajar menyingsing. Didengarnya Bilal sedang mengumandangkan azan Subuh.
Bilal mengucapkan: "Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah?" Mu'adz
menyambungnya: "Wa Asyhadu Anna Muhammadur Rasulullah?" Kemudian ia
menangis dan akhirnya ia jatuh dan tak sadarkan diri lagi. Pada saat itu, di
samping Bilal bin Rabah ada Salman Al-Farisy ra lalu ia berkata kepada Bilal:
"Wahai Bilal sebutkanlah nama Muhammad dengan suara yang kuat dekatnya, ia
adalah Mu'adz yang sedang pingsan. Ketika Bilal selesai azan, ia mendekati
Mu'adz, lalu ia berkata: "Assalamualaika, angkatlah kepalamu wahai Mu'adz,
aku telah mendengar dari Rasulullah SAW, baginda bersabda: "Sampaikanlah
salamku kepada Mu'adz." Maka Mu'adz pun mengangkatkan kepalanya sambil
menjerit dengan suara keras, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia telah
menghembus nafas yang terakhir, kemudian ia berkata: "Demi ayah dan ibuku,
siapakah yang mengingatkan aku pada baginda, ketika baginda akan meninggalkan
dunia yang fana ini, wahai Bilal? Marilah kita pergi ke rumah istri baginda
Siti Aisyah ra."
Ketika sampai di depan pintu rumah Siti
Aisyah, Mu'adz mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahlil bait, wa
rahmatullahi wa barakatuh?" Yang keluar ketika itu adalah Raihanah, ia
berkata: "Aisyah sedang pergi ke rumah Siti Fatimah. Kemudian Mu'adz
menuju ke rumah Siti Fatimah dan mengucapkan: "Assalamualaikum ya ahli
bait." Siti Fatimah menyambut salam tersebut, kemudian ia berkata, "Rasulullah
SAW bersabda: Orang yang paling alim di antara kamu tentang perkara halal dan
haram adalah Mu'adz bin Jabal, ia adalah kekasih Rasulullah SAW."
Kemudian Fatimah berkata lagi: "Masuklah
wahai Mu'adz?" Fatimah ra lalu berkata kepadanya: "Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: "Sampaikanlah salam saya kepada Mu'adz dan kabarkan
kepadanya bahwa ia kelak di hari kiamat sebagai imam ulama." Kemudian
Mu'adz bin Jabal keluar dari rumah Fatimah ra menuju ke arah kubur Rasulullah
SAW.
Pesonanya
Dalam
kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama
dengan Umar bin Khathab.
Suatu
hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk
masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis
yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah
hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.
Dalam halaqah tersebut ia dapati seorang anak muda yang tampan, kulitnya
hitam manis, bersih, dan baik tutur katanya. Usianya paling muda di antara yang
lainnya. Jika mereka mendapati keraguan terhadap suatu hadits, mereka
menanyakannya kepada anak muda itu dan ia segera memberikan fatwanya. Dan ia
tidak berbicara kecuali bila diminta. Dan ketika majlis itu berakhir,
‘Aidzullah menanyakan siapa namanya. Dan ia menjawab, saya adalah Mu’adz bin
Jabal.
Shahar
bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para
sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah
mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya." Dan
Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra sendiri sering meminta pendapat dan buah
pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat
dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat
Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"
Ia
seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika
mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk
memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan
oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari
mulutnya keluar cahaya dan mutiara". Dan kedudukan yang tinggi
di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik
selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz
sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang
usianya belum 33 tahun!
Mu'adz
adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu
pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan
hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.
Muda, Cerdas, Sholeh, Sukses
Di
Yaman selain berdakwah menyebarkan dan mengajarkan Islam, Mu’adz bin Jabal juga
berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Karena kepandaian dan ketekunannya
pulalah, maka ia berhasil meningkatkan omset dagangnya dan berubah menjadi
pribadi yang kaya raya, santun dan faqih. Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu’adz
masih berada di Yaman. Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke
Madinah, dan di awal kedatangannya terjadi sebuah kisah indah penuh ukhuwah
antara Mu’adz, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Di
masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz
telah menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan pribadinya meningkat tajam dari
beberapa tahun sebelumnya. Seperti biasa, ketegasan dan kewaspadaan ala Umar
bin Khattab berjalan, beliau sebagai penasehat khalifah segera mengusulkan
kepada Abu Bakar agar membagi dua kekayaan Mu’adz dan menyerahkannya kepada
negara, sebagai bentuk kehati-hatian sebagai pengelola negara. Abu Bakar tidak
segera menyetujui usulan dari Umar, namun tanpa menunggu persetujuan Abu Bakar,
secara pribadi Umar bersegera mendatangi Mu’adz untuk datang sebagai sahabat.
Mu'adz
adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia
telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak
pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang
yang syubhat.
Mu’adz bin Jabal sebagaimana kita ketahui dalam testimoni Rasulullah SAW,
adalah orang yang paham tentang halal dan haram. Termasuk halal dan haram dalam
transaksi dan perdagangan. Ia tidak mengenal bertransaksi dengan unsur maysir
(spekulasi), ghoror (tipuan), gheis (curang) apalagi ikhtikar (menimbun barang)
dan riba. Kekayaan yang didapat pun tak lebih dari buah ketekunan dan
kecerdasan, yang mendapatkan taufiq dari ar-rozzaq Allah SWT, jauh dari segala
syubhat apalagi yang haram.
Maka
ketika Umar datang ke rumahnya dan mengemukakan usulannya untuk membagi dua
harta tersebut, Mu’adz pun menolak dengan argumen yang cerdas dan hujjah yang
kuat. Diskusi hangat dua sahabat mulia itu pun berakhir dan Umar
berpamitan meninggalkannya. Sungguh ia tidak hasad dan iri dengan kekayaan Mu’adz,
tidak pula ia menuduh Mu’adz bermaksiat dengan mencari jalan haram dalam
menumpuk kekayaan, namun ia hanya takut karena saat itu Islam sedang mengalami
kejayaan dan kegemilangan, di luar sana banyak tokoh-tokoh yang memanfaatkan
hal tersebut dengan bergelimang harta tanpa kejelasan sumber halalnya. Inilah
yang ditakuti Umar, tidak lebih.
Hari
itu, Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan
pula. Kemudian Umar berpaling meninggalkannya. Namun, pagi-pagi keesokan
harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan
memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam
tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan
tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"
Nampaknya
mimpi tersebut membuat Mu’adz ingin segera menuruti usulan Umar bin Khattab
untuk membagi dua harta kekayaannya yang diperoleh dari Yaman. Maka
keduanya pun segera menghadap Abu Bakar, dan Mu’adz pun mengutarakan niatnya,
meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya.
Namun
apa jawab khalifah Abu Bakar yang mulia? Khalifah yang timbangan imannya tak
tertandingi oleh penghuni bumi ini menolak dengan tegas, ia mengatakan: “Tidak
satu pun yang akan saya ambil darimu”. Abu Bakar tahu dan yakin bahwa Mu’adz
memperoleh kekayaan dari jalan yang baik, maka ia tidak ingin mengambil satu
dirham pun dari harta sahabatnya tersebut, yang itu berarti kezhaliman dan akan
berbuah kehinaan di akhirat.
Mu’adz
belum puas dengan jawaban sang khalifah, ia pun menoleh dan meminta pendapat
Umar bin Khattab, ia teringat dengan mimpinya semalam yang begitu mendebarkan.
Apa komentar Umar sebagai pihak yang mengawali usulan pembagian harta tersebut,
ia berujar singkat: “ Cukup, sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang
baik”. Subhanallah, kegelisahan pun berakhir dengan kehangatan ukhuwah
dan kemuliaan iman.
Masa
itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai
puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah
bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula
yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada
kebaikan.
Subhanallah
Wafatnya
Mu'adz pindah ke Syria (Suriah),
di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi
guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur
militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh
Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria. Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang
jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk
dan menyerahkan diri. Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah
hebat di Urdun tempat ia mengajar sebagai utusan khalifah Umar bin
Khattab. Saat itu usianya 33 tahun.
Menjelang
akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku
takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau
mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai
atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan
menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan,
keimanan, dan ketaatan."
Lalu diulurkanlah tangannya
seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam
gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di
saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah
Kutipan Kisah Bersama Rasulullah,
Kekasih yang Dicintainya
Pada
suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh
sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah,
bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas
kepada-Mu."
Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara
tepat.
Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya,
"Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"
"Di
pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.
"Setiap
kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat
keimananmu?"
"Setiap
berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan
setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi.
Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan
diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh
berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk
surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam
neraka."
Maka
sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah
jangan dilepaskan!"
Kisah lainnya:
Mu’adz
bin Jabal radhiyallahu‘anhu berkata: “Saya pernah bersama Nabi sholAllahu
‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Pada suatu pagi ketika kami sedang
berjalan, aku berada di dekat beliau, maka aku berkata, Wahai Rasulullah
kabarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan
menjauhkan aku dari Neraka”.
Maka
beliau bersabda: “Sungguh engkau telah bertanya kepadaku tentang perkara yang
begitu besar akan tetapi akan terasa mudah bagi orang-orang yang dimudahkan
oleh Allah, engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan
suatu apapun, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji.”
Kemudian
beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Maukah aku tunjukkan kepadamu
pintu-pintu kebaikan? Berpuasa adalah perisai, sedekah dapat memadamkan
dosa-dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, demikian juga shalat
seseorang di tengah malam, kemudian beliau membacakan ayat, ‘…lambung-lambung
mereka jauh dari tempat tidur mereka…’ hingga ‘..apa yang telah mereka kerjakan’
[QS. As-Sajdah ; 17]
Kemudian
beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan urusan yang terpenting, tiang-tiang
penyanggahnya, dan puncak tertingginya ?” Saya katakan: “Tentu wahai Rasulullah”.
Maka beliau bersabda: “Urusan terpenting adalah Islam, tiang penopangnya adalah
shalat sedangkan puncak tertingginya (atapnya) adalah jihad”.
Kemudian
lanjutnya: “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua itu ?” Saya
menjawab: “Tentu wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya, lalu
bersabda: “Jagalah olehmu ini!” Aku bertanya: “Wahai Nabi Allah, apakah kami
akan disiksa dengan sebab perkataan yang kami ucapkan?”
Beliau
menjawab: “Ibumu kehilangan kamu ya Mu’adz, bukankah orang-orang itu tersungkur
di Neraka diatas wajah-wajah mereka atau diatas hidung-hidung mereka, tidak
lain disebabkan oleh ulah lisan-lisan mereka ?”
Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari (612 - 637/15 H) atau
yang lebih dikenal dengan nama Zaid bin Tsabit, adalah salah seorang sahabatRasulullah
SAW dan merupakan penulis wahyu dan surat-surat
Rasulullah SAW. Ia memiliki gelar “Jami’ al-Quran al-Karim”(pengumpul
al-Qur’an) dan syeikh al-muqiriin. Beliau sering memberikan fatwa, memutuskan
perkara yang disengketakan dan mengajarkan ilmu faroidh (pembagian harta
warisan). Beliau termasuk diantara sahabat yang cerdas dan pintar.Di antara para sahabat yang
dikenal sebagai penghafal Al-Qur'an dan penulisnya adalah Ali bin Abi Thalib,
Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit
radhiyallahu 'anhum ajma'in.
Zaid bin Tsabit lahir di Madinah sebelas tahun
sebelum Hijriah. Zaid bin Tsabit merupakan keturunan Bani Khazraj. Ketika
Rasulullah berhijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Zaid bin Tsabit masuk
Islam bersama-sama keluarganya. Walaupun masih kecil, ia adalah anak yang
berani dan patuh terhadap ajaran agama. Ketika pasukan Islam berangkat ke medan
perang Badar ia ingin ikut bersama ayahnya. Tetapi dilarang Rasulullah (shalallahu
alahi wasallam), karena ia masih terlalu kecil untuk ikut berperang.
Simbol Keberanian
dan Kecerdasan di Usia Belia
Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki
berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil,
hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi
badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan
menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati
untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi
musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.” Rasulullah menengok kepada anak itu dengan
pandangan gembira dan takjub. Beliaumenepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih
dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya masih
sangat muda.
Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia
sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama
yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya. Ibu anak itu, Nuwar binti Malik,
yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia
ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu
dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angannya
terbayang, alangkah bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW. Tetapi anak Anshar yang
cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil
mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat
muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia.
Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu berdekatan dengan
Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.
Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira
buahpikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya. Nuwar
memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan
ditempuh anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui Rasulullah. Kata mereka, “Wahai Rasulullah!
Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah
kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah
dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang
ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki,
silakan mendengarkan bacaannya.
Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Quran
yang telah dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat
Al-Quran bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan
langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya
dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa yang
dibacanya. Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai
Zaid bin Tsabit, ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya.
Terlebih lagi, Zaid bin Tsabit pandai menulis dan membaca.
Zaid diperintahkan Rasulullah mempelajari bahasa Ibrani (Yahudi).
Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani
dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah
menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila
Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit
dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi,
Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.
Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid
berhasil menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan
menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid
yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau
untuk kedua bahasa tersebut.
Rasulullah SAW berkata kepadanya "Aku berkirim surat
kepada orang, dan aku khawatir, mereka akan menambah atau mengurangi
surat-suratku itu, maka pelajarilah bahasa
Suryani",
kemudian aku mempelajarinya selama 17 hari, dan bahasa
Ibrani
selama 15 hari.
Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan,
ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit
(al-Quran). Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil
Zaid, laludibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin
Tsabit menulis Al-Quran didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap
sesuai dengan turunnya ayat.
Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat
turun. Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang
berhubungan. Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Quran,
dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasia syariat Islam, sementara dia mengkhususkan
diri dengan Al-Qur’an.
Selain menjadi sekretaris Rasulullah (shalallahu alahi wasallam),
pemuda cerdas ini turut serta bersama Nabi Muhammad (shalallahu alahi wasallam)
dalam perang Khandaq (ahzab) dan peperangan lainnya. Dalam peperangan Tabuk, Nabi
Muhammad (shalallahu alahi wasallam)
menyerahkan bendera Bani Najjar yang sebelumnya dibawa oleh Umarah
kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya kepada Rasulullah SAW, ia
berkata: "Al-Quran harus diutamakan, sedang Zaid lebih banyak menghafal
Al-Quran daripada engkau."
Selama berjuang dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan kurang lebih 93 hadits, yang lima
daripadanya disepakati bersama oleh Iman Bukhari dan Imam Muslim. Bukhari juga
meriwayatkan empat hadits yang lainnya bersumberkan dari Zaid bin Tsabit,
sementara Muslim meriwayatkan satu hadits lainnya yang bersumberkan dari Zaid
bin Tsabit.
Di antara hadits riwayatnya itu, diceritakan bahwa pada suatu malam di
bulan puasa kami makan sahur bersama Rasulullah. Setelah itu kami shalat. Zaid
bertanya, "Berapa lama antara waktu sahur dengan waktu shalat?"
Rasulullah menjawab, "Kurang lebih lima puluh ayat." (HR. Bukhari
Muslim).
Tugas Berat, Pengumpul Al-Quran
Di kemudian hari setelah Rasulullah wafat, pada
zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Zaid bin Tsabit adalah salah seorang
yang diamanahkan untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali Al-Quran dalam satu
mushaf.
Setelah wafatnya Rasulullah, banyak di antara
orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dengan tidak bersedia
membayar zakat. Khalifah Abu Bakar Shidiq melihat hal ini sebagai ancaman bagi
perkembangan Islam. Kaum murtad harus dibasmi. Maka terjadilah perang yang
sangat banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Tujuh puluh orang
penghafal Al-Quran gugur dalam perang tersebut.
Umar bin Khattab merasa khawatir akan
kelestarian Al-Quran dengan banyaknya para penghafal Al-Quran yang gugur. Ia
lalu mengusulkan kepada khalifah untuk menghimpun ayat-ayat Al-Quran. Setelah
sebelumnya sempat tidak setuju, Khalifah Abu Bakar akhirnya menyetujui rencana
mulia itu. Beliau lalu mempercayakan tugas besar dan berat itu kepada Zaid bin
Tsabit. Beliau memanggil Zaid bin Tsabit dan kemudian mengatakan kepadanya:
"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak
meragukanmu".
Zaid yang tak pernah menduga mendapat tugas
seperti ini memberikan jawaban: "Demi Allah, mengapa engkau akan lakukan
sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan? Sungguh ini pekerjaan berat bagiku.
Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu
tidaklah seberat tugas yang kuhadapi kali ini." Meskipun pada awalnya ia
menolak, namun setelah diyakinkan akhirnya Zaid bin Tsabit dengan bantuan
beberapa orang lainnya (tim khusus) menjalankan tugas tersebut.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu Zaid bekerja dengan amat teliti
dan cermat. Zaid membuat dua butir persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian Khalifah
Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan satu persyaratan lagi. Ketiga persyaratan
tersebut adalah:
1. Ayat/surat tersebut harus dihafal paling sedikit 2 orang.
2. Harus ada dalam bentuk tertulisnya (di batu, tulang, kulit dan bentuk
lainnya).
3. Untuk yang tertulis, paling tidak harus ada 2 orang saksi yang melihat saat
dituliskannya.
Walaupun ia hafal Al-Quran seluruhnya, tetapi
untuk keperluan pengumpulan Al-Qur an yang sangat penting bagi umat Islam, ia
masih memandang perlu untuk mencocokkan hafalannya dengan catatan para sahabat
yang lain dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan cara demikian Al-Quran
telah ditulis dan disusun seluruhnya oleh Zaid dalam lembaran-Iembaran dan
diikat dengan benang, tersusun menurut ayat-ayatnya sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah. Mushaf Al-Quran itu kemudian diserahkan kepada
Khalifah Abu Bakar.
Mengenai kedalaman ilmunya, Ibn Abbas berkata:
“Sebagaimana diketahui bahwa para penghafal al-Quran dari kalangan sahabat dan
Zaid bin Tsabit termasuk orang-orang luas ilmunya”.
Pada masa kekhalifahan pemerintahan Utsman bin
Affan, Zaid bin Tasbit ditugaskan kembali menjadi ketua tim penyusun mushaf.
Sungguh, hal ini merupakan kedudukan mulia dan tugas yang teramat berat. Tugas
yang hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan kecerdasan luar biasa dan
keluasan ilmu.
Zaid bin Tsabit diangkat menjadi bendahara pada zaman pemerintahan Khalifah Abu
Bakar dan Khalifah Umar. Ketika
pemerintahan Khalifah
Utsman, Zaid bin Tsabit diangkat menjadi pengurus
Baitul Maal. Umar dan Utsman juga mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai pemegang
jabatan khalifah sementara ketika mereka menunaikan ibadah haji.
Keutamaan Lain
Di antara keutamaan yang dilimpahkan Al-Quran terhadap Zaid bin
Tsabit, dia pernah memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai
pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah) Rasulullah
sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, “Pihak kamilah yang lebih pantas.” Kata
sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat
seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami
untuk menyertainya.” Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di
kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum
dimakamkan. Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Quran yang
sanggup mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu.
Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya
orang-orang Anshar.
Katanya, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah
orang Muhajirin. Karena itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita
adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita
menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan
memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”
Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada
Abu Bakar Ash-Shidiq seraya berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian
kepadanya!” Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Quran
telah mengangkatnya menjadi penasihat kaum muslimin.
Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam
perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang
hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada di antara
kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari pada
Zaid.
Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai,
manusia! Siapa yang
ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang
hendak
bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak
bertanya
tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
telah
menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”
Kedalaman
Ilmu
Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari
para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan
memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.
Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu
Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan hewan yang sedang
dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang
talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan
saja hewan itu, wahai anak paman Rasulullah!” Jawab Ibnu Abbas, “Beginilah kami
diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.” Kata Zaid, “Coba perlihatkan
tangan Anda kepada saya!” Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid
bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah
caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga Nabi kami.”
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meski dikenal
sangat pandai dan banyak memahami tentang ajaran Islam, tidak segan-segan
datang ke tempat Zaid untuk menimba ilmu. Ibnu Abbas berkata, "Ilmu itu
dicari bukan datang sendiri."
Kehidupannya
dalam Keluarga
Meskipun sibuk dengan urusan agama, beliau
tidak pernah melupakan tugas sebagai suami dalam keluarga. Sebagaimana
Rasulullah sabdakan, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang baik dengan
istrinya. Dan saya lah orang yang baik dengan istri.”(HR.Bukhori Muslim). Dari
Tsabit bin ‘Ubaid berkata; “Zaid bin Tsabit adalah manusia paling ceria dengan
keluarganya.”
Wafatnya Pemilik Ilmu
Beliau wafat pada tahun 45 Hijriah di Madinah. Setelah wafatnya
Hassan bin Tsabit meratapinya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini orang yang
paling alim di umat Islam telah wafat, semoga Allah memberikan ganti dari
keluarga Ibn Abbas.” Beliau meninggalkan seorang anak bernama Khorijah bin
Zaid, salah seorang ahli fikih tujuh yang terkenal di Madinah. Anaknya termasuk
dari golongan tabi’in yang sangat berpengaruh.
Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin
menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam. Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu
umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan Ibnu Abbas.” Penyair Rasulullah,
Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai
sajak yang indah,
Siapakah lagi merangkai sajak
sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin!
Sumber:
Mursi, Muhammad
Sa'id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI
dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007. ISBN 979-592-387-0
aku tak berobsesi gelimang harta
aku tak bermimpi menjadi istri para raja
citaku sederhana, namun tak mudah
aku ingin menjadi ibu dari anak-anak yang hebat
para mujahidin yang tangguh, cerdas, dan paling utama taat kepada Allah
aku ingin menjadi seperti Asma binti Abu bakar yang memiliki anak setangguh Abdullah bin Zubair
atau ingin sekuat Khansa yang sanggup membentuk jiwa syahid pada diri keempat anaknya
aku ingin anak-anakku menjadi pemimpin umat di bidangnya
aku ingin mendidik mereka dengan cara terbaik
semua itu tidak mudah, maka jangan heran jika ku banyak menulis pendidikan anak
aku tak mau menganggap mereka, anak-anakku, sebagai bahan uji coba
baru meraba-raba seketika mereka telah ada
Cara terbaik dari ayah dan ibu yang terbaik.
Semoga Allah merahmati cita-citaku ini. Memberkahiku dengan kesuburan, memberikanku keturunan yang shalih dan shalihah. Mengizinkanku memeluk kemuliaan, bukan dengan harta, tetapi dengan ilmu dan kebijaksanaan.
Kita semua pasti pernah mengalami hal yang menyakitkan dalam hidup kita. Jangan salah, orang yang tampak sangat ceria pun mungkin menyimpan banyak duka dalam dirinya. Begitulah hidup, sejauh apa pun kita menghindar dari yang namanya masalah justru kita akan menemuinya. Seorang yang kuat akan lebih memilih menghadapi masalah ketimbang lari menghindar. Percayalah, jika kita pandai mengambil hikmah dari setiap masalah yang terjadi, kita akan semakin bijak dan dewasa. Anggaplah masalah merupakan suatu nikmat, bukan musibah.
Di ilmu psikologi, ada istilah yang disebut Defense Mechanism atau mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri digunakan untuk melindungi diri kita dari peristiwa yang mengecewakan, menyedihkan, dan menakutkan. Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan, (kita psti pernah menggunakan salah satu atau beberapa di antaranya).
Repressi, yaitu berusaha melupakan dan berbuat seolah-olah peristiwa menyakitkan itu tidak pernah ada, tidak pernah terjadi. Memori seakan-akan terhapus, tapi yang sebenarnya adalah memori itu tetap tersimpan di alam bawah sadar kita.
Replacement, yaitu memindahkan sasaran kemarahan kita. Saat menghadapi peristiwa yang menyakitkan, tentu ada perasaan marah. Marah ini disalurkan kepada subjek atau objek yang tidak berkaitan dengan masalah yang sebenarnya. Misalnya, masalah di kantor, tapi marah-marahnya sama istri.
Regressi, yaitu penurunan tingkat perkembangan. Karena ada masalah yang sangat berat, orang ini akan bertingkah seperti anak kecil yang manja. Misalnya orang dewasa yang menangis meraung-raung, berteriak, dan tantrum, padahal cara orang dewasa ketika menghadapi masalah biasanya hanya meneteskan air mata.
Fiksasi, yaitu mempertahankan sikap adan perilaku kita sesuai fase perkembangan tertentu.
Rasionalisasi, yaitu berusaha mencari pembenaran atas tindakan yang diambil. Misalnya, "Untuk apa marah, toh tidak ada gunanya".
Intelektualisasi, yaitu menggunakan kata-kata ahli atau bijak untuk mencari pembelajaran atas tindakan yang diambil. Misalnya, Rasulullah Saw., pernah bersabda "Jangan marah, jangan marah, jangan marah".
Dari beberapa jenis mekanisme di atas, yang paling baik adalah yang nomor 5 dan 6. Mekanisme yang lain hanya bersifat menyembuhkan sementara. Pada awalnya, mungkin akan terasa lega, tapi entah di suatu hari kita akan ingat kembali dan akan terasa sakit.
Luka apa pun pasti kita akan berusaha menyembuhkannya. Ada luka yang dapat sembuh sendiri dan hilang tak berbekas. Ada juga luka besar dan membutuhkan waktu penyembuhan yang lama. Tak masalah, yang penting jangan berusaha untuk melenyapkannya dari ingatan kita. Karena itu benar-benar tidak bisa dilakukan. Hal penting yang perlu kita lakukan adalah bertawakkal kepada Allah Swt. Setiap kejadian, besar atau kecil adalah kehedak-Nya. Dan setiap apa-apa yang ditentukan-Nya tentu seimbang, adil, dan terbaik. Kalau pun bersedih dan terluka, tak perlu lama-lama, bersabarlah. Obati hatimu dengan menyerahkan seluruh hidupmu dan takdirmu hanya kepada Allah. Itu lah seorang muslim sejati di mana sabar dan doa menjadi senjata utama dalam menghadapi masalah.