Jumat, 28 Oktober 2011

Teknik Mendisiplinkan Anak


Kita semua pasti mengharapakan anak kita menjadi anak yang penurut atau mengikuti semua aturan yang dibuat. Namun ternyata membuat anak menjadi disiplin bukanlah merupakan hal mudah. Kita sering tertipu dengan cara yang kurang sesuai, sehingga hanya bisa mendisiplinkan anak di satu waktu tertentu, tapi tidak di waktu yang lain. Contohnya saja ketika saya melihat teman saya yang menerapkan aturan kepada anak-anaknya untuk selalu tidur siang jam 13.00, saat ada tamu orang tuanya, si anak memanfaatkan kesempatan tersebut. Dia tidak tidur siang dan malah sengaja bermain dengan teman-temannya karena dia tahu ibunya tidak akan memarahinya di depan para tamu.

William Damon mengatakan bahwa semua anak memerlukan disiplin dalam arti yang positif dan mengikat. Penerapan aturan dan disiplin yang dilakukan ditujukan untuk mengembangkan bakat alamiahnya agar maksimal. Mereka juga perlu dihadapkan pada disiplin yang tegas dan konsisten setiap kali melanggar batas aturan sosial.
Saya jadi teringat seorang sahabat Rasulullah Saw., yang bernama Zubair bin Awwam. Ibunya bernama Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah Saw. Beliau terkenal dengan sebutan “pengawal Rasulullah”. Beliau selalu mengikuti peperangan bersama Rasulullah Saw dan setiap malam beliau selalu siap siaga berdiri di depan tenda Rasulullah untuk mengawasi sekitar, khawatir ada penyusup yang masuk. Perilaku dan pribadi Zubair ra., ini bukan tanpa sebab. Beliau dari kecil dididik ketat oleh ibunya Shafiyah ra. Bahkan, ada seorang yang berkata kepada Shafiyah saat melihat cara wanita ini mendidik anaknya yang masih kecil, “Wahai Shafiyah, apa yang sedang kulihat ini. Kau ini sedang mendidik anakmu atau bukan?”. Shafiyah adalah wanita yang tegas, beliau menerapkan kedisiplinan yang tinggi kepada anak-anaknya dan saat mendengar pertanyaan itu beliau menjawab, “Ketahuilah bahwa aku sedang mendidik anakku, dan kau lihat saja nanti akan jadi seperti apa dia”. Benar saja, anaknya ini tumbuh menjadi laki-laki perkasa, pemberani, dan berjiwa besar, seorang pengawal Rasulullah, Zubair bin Awwam.

Disiplin tidak identik dengan kekerasan. Jika kita berpikir bahwa kedua hal itu sejalan, maka kita salah besar. Disiplin berarti konsisten terhadap setiap aturan dan perkataan. Hukuman yang diberikan pada saat mendisiplinkan anak tidak selalu berupa kekerasan. Justru kekerasan hanya akan memberi bekas yang tidak menyenangkan pada anak. Kekerasan justru bukan penyelesaian masalah, bahkan menambah masalah. Rasulullah Saw, merupakan orang yang paling sedikit menerapkan hukuman dalam bentuk kekerasan. Beliau menjadi keras hanya saat berhadapan dengan orang kafir, terutama mereka yang memusuhi islam, tapi sesama muslim beliau sangat lembut apalagi sama anak-anak.Intinya, Antikekerasan bukan berarti kita menjauhi yang namanya pendisiplinan anak. Penerapan hukuman bisa dilakukan dengan berbagai cara, bergantung keputusan bersama keluarga. 

Mengapa mendisiplinkan anak menjadi sulit? Ada beberapa hal yang membuat kita gagal menerapkan disiplin pada anak, yaitu sebagai berikut.
  1. Bagi sebagian besar orang, disiplin memiliki konotasi negatif. Disiplin berarti mengikuti aturan yang mengekang kebebasan. Hal yang perlu ditekankan kepada anak adalah bahwa kita tidak akan pernah lepas dari aturan. Aturan bukanlah suatu hal yang buruk karena kita memerlukannya. Di jalan ada aturan lalu lintas seperti di mana harus parkir, di mana menyebrang jalan, jalur mana bisa digunakan untuk mendahului kendaraan lain, dan sebagainya. Kita bisa memberikan gambaran, seperti di sekolah ada aturan jam datang, seragam sekolah, buku PR, dan lain-lain; begitu pun di rumah juga ada aturan, misalnya waktu bermain, makan, jam tidur, dan aturan-aturan saat ada tamu yang datang. Bagaimana jika tidak dilakukan? Jika kita seenaknya di jalan raya maka kita mungkin akan ditabrak atau menabrak. Jika tidak menuruti aturan sekolah, maka mungkin kita akan hukum guru, dibenci teman, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Ajarkan pada anak agar bersahabat dan jangan alergi terhadap aturan.
  2. Disiplin menuntut kita untuk adil, padahal adil kepada semua orang itu sulit. Misalnya saja kita memiliki dua anak yang berbeda usia, yang satu remaja dan yang satu anak usia sekolah. Kita memberi kebebasan yang lebih kepada anak yang remaja untuk main ke rumah temannya. Sementara untuk anak usia sekolah kita sangat membatasi waktu dan teman bermainnya. Selain karena perbedaan tingkat perkembangan, pendekatan penerapan disiplin juga berbeda karena perbedaan karekeristik atau sifat anak. Semua ini adalah hal yang wajar namun bisa menjadi penghambat karena terkadang anak-anak tidak memahami kenapa kita memberlakukan perbedaan tersebut. Mereka menganggap bahwa orang tuanya tidak adil dalam memperlakukan mereka.
  3. Dalam berbagai hal kita sering menggunakan  personal criteria, artinya kita mengharapkan seseorang bersepons seperti apa yang kita inginkan padahal anak hanyak seorang anak yang kadang belum memahami  apa yang dipikirkan orang dewasa. Hal ini diperburuk dengan pola komunikasi yang buruk. Kita kadang menggunakan gaya komunikasi orang dewasa ke anak yang masih kecil sehingga anak tidak mengerti apa yang sedang disampaikan . Orang tua menganggap bahwa respons anak terhadap stimulus yang diberikan sangat lambat atau kurang respek.
  4. Disiplin berarti konsisten. Kadang kala, kita terlanjur “telalu cinta” kepada anak sehingga kita menjadi kurang objektif dalam memberikan hukuman. Terlebih lagi pada orang tua yang bekerja, karena merasa bersalah harus meninggalkan anak saat kerja. Akibatnya, saat kita harus menghukum anak, hukumannya menjadi lunak sebagai penebus rasa bersalah itu.
  5. Disiplin berarti bersikap tegas, yang sering kali dipersepsikan dengan “galak”. Kita tentu tidak ingin diberi label “galak” oleh anak yang kita sayangi sehingga ragu-ragu dalam menjalankan aturan.
  6. Ketidakkompakan ibu dan ayah. Terkadang saat ibu marah dan memberi hukuman, si ayah dengan sikap “sok bijak’-nya menghampiri si anak sambil berkata “Sudah-sudah, ini kan hal kecil, ngga usah dipermasalahkan” atau sebaliknya ibu yang melakukan ini ke ayah. Mungkin kedua pihak tidak merasakan pengaruh terhadap kejadian ini, tapi percayalah sikap ini memberi pengaruh kepada si anak. Anak menjadi kurang hormat kepada orang tua karena ia melihat sendiri ayah dan ibunya tampak meremehkan satu sama lain. Jadi, terlihat mendukung atau paling tidak “bersikap diam no comment” saat salah satu pihak memarahi anak. Apabila kita melihat istri atau suami keterlaluan memarahi anak, jangan tegur mereka di depan anak langsung. Tarik istri/suami ke kamar lalu bicarakan keluhan kita, sampaikan secara baik-baik dan cari jalan keluar bersama. 


Lawrence E Shaphiro, Ph.D* memberikan beberapa teknik mendisiplinkan anak.
  1. Buatlah aturan dan batas yang jelas serta tegas. Lebih baik jika aturan itu ditulis dan ditempel.
  2. Beri peringatan atau petunjuk apabila anak mulai melakukan kesalahan. Ini cara terbaik untuk mengajari mereka cara mengendalikan diri.
  3. Bentuklah perilaku positif dengan mendukung setiap perilaku baik melalui pujian atau perhatian dan mengabaikan perilaku yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian kita.
  4. Didiklah anak sesuai dengan harapan kita
  5. Cegahlah masalah sebelum terjadi
  6. Apabila peraturan yang telah dinyatakan dengan jelas dilanggar, baik sengaja atau karena terpaksa langsung tanggapi dengan hukuman yang sesuai. Bersikaplah konsisten dengan apa yang kita katakan.
  7. Apabila hukuman tidak dapat dielakkan, pastikan bahwa hukuman itu setara dengan pelanggaran atau perilaku buruk yang dilakukan.
  8. Biasakan diri dengan sejumlah teknik pendisiplinan, antara lain: teguran, menyetrap, menahan hak menikmati sesuatu, koreksi berlebihan (misal, menulis ulang 10 x), dll.

Penerapan pendisiplinan tidak akan dapat dipahami anak jika orang tua tidak menerapkan pola komunikasi yang baik. Kita harus sering mengajak anak berdiskusi  tentang kelakuan dan perbuatan. Jangan lupa untuk memberikan pujian dan tetap objektif dalam memberikan hukuman secara proporsional. Orang tua yang bijak adalah orang tua yang tahu hal apa saja yang pantas untuk dipantang (tahu kapan yang harus memberikan hukuman). Hukuman yang terlalu sering justru tidak akan berpengaruh bagi anak, malah akan membuatnya merasa ditentang.

Wallahu a’alam.


*Sumber: Lawrence E. Saphiro, Ph.D. 2001.  Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar