Menikah adalah salah satu sunah Rasul
yang sangat dianjurkan dalam Islam. Begitu banyak kebaikan yang bisa diperoleh
dengan menikah, di antaranya adalah memperoleh ketenangan batin, ketentraman,
dan memperoleh keturunan. Pasti hampir semua dari kita memiliki bayangan yang
indah mengenai pernikahan. Hidup bersama dengan orang yang kita cintai lalu
membangun “pemerintahan” sendiri di dalam keluarga yang penuh dengan kasih
sayang. Tapi percayalah itu semua tidak dapat kita lalui dengan mudah. Jalan
menuju kebahagiaan tak selamanya mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan
persoalan yang terkadang menggagalkan perjalanan rumah tangga.
Sebenarnya, agak canggung juga membahas
topik ini, karena saya pun belum berpengalaman. Namun, sebagai bekal
menjalankan kehidupan rumah tangga idaman yang penuh dengan cahaya Islam, saya
mengolah beberapa literatur dan beberapa pengalaman teman yang sudah menikah
kemudian merangkumnya dalam tulisan ini. Tentunya, tulisan ini hanya merupakan
ulasan ulang dalam bentuk ringkas, sedangkan pembahasan mengenai cara menjaga
keharmonisan rumah tangga yang sebenarnya adalah dengan mempelajari kehidupan
Rasulullah Saw. Beliau adalah teladan terbaik bagi setiap muslim, teladan bagi
para lelaki yang menjadi pemimpin dalam keluarganya dan Istri-istri beliau
merupakan contoh terbaik bagi setiap istri para mukmin.
***
Apa yang pertama kali ada dalam benak
kita ketika hendak mengkhitbah seorang wanita atau ketika akan dikhitbah
seorang pria. Hal apa yang kita rasakan saat kita benar-benar telah sah dan
halal bagi seseorang. Tidakkah semua akan terlihat indah. “Serasa dunia milik
berdua”, begitulah kata teman saya yang baru saja melangsungkan akad nikah
beberapa minggu lalu. Yup.. semua terasa indah karena memang sudah fitrahnya
kita membutuhkan orang lain (pasangan) untuk menyalurkan cinta dan berbagi
bersamanya. Tapi sampai kapan kebahagiaan ini akan terus ada. Sampai kapan
luapan cinta yang begitu besar mampu mengharubirukan setiap hari kita.
Mungkin semua perasaan ini akan menjadi
berbeda tatkala senyum dan tawa mulai berganti menjadi air mata, tatkala kita
mulai sadar bahwa ada banyak perbedaan antara kita dan pasangan. Perbedaan-perbedaan
itu akan memicu pertengkaran-pertengkaran kecil atau bahkan menjadi
pertengkaran hebat. Kenyataannya, tidak ada rumah tangga yang luput dari
pertengkaran. Ada yang bilang itu bumbu yang jika dapat diselesaikan dengan
baik dan tuntas, maka akan semakin mempererat hubungan suami-istri. Namun,
bagaimana jika tidak dapat diselesaikan? Jika tidak dapat diselesaikan dengan
baik, maka dapat berakibat pada kerenggangan hubungan yang mungkin berakhir
pada perceraian. Naudzubillah.. Untuk menghindari perpecahan ini, selain
petunjuk Allah, seyogyanya setiap pasangan memiliki kedewasaan yang matang dan
pemahaman yang baik mengenai kondisi keluarga terutama pasangannya. Pemahaman
yang baik akan membantu pasangan dalam manajemen konflik rumah tangga yang terjadi.
Semoga Allah selalu memberikan kita rahmat-Nya sehingga jauh dari yang disebut
perceraian.
Hal yang pertama kali harus kita ingat
adalah bahwa perkawinan pada
hakikatnya merupakan kerja sama yang berlangsung terus-menerus antara suami dan
istri. Kerja sama inilah yang membuat mereka tak semestinya saling bersaing
untuk menunjukkan siapa di antara mereka yang lebih unggul. Memasuki perkawinan
juga bukan berarti bisa mengubah pribadi pasangan persis
sesuai keinginan kita. Memang ada
beberapa hal yang dapat kita ubah, tapi tidak dalam segala hal. Bisa saja kita
membuat pasangan kita berhenti merokok, tapi kita belum tentu bisa mengubah
kebiasaannya makan sambil nonton TV. Hanya karena tidak suka melihat dia terus
melakukannya (karena sudah menjadi kebiasaan), kita terus mengomelinya dan
membencinya saat melakukan setiap hal yang bertolak-belakang dengan kebiasaan
kita.
Setiap orang pasti berbeda, itulah hal yang harus diterima dari pasangan. Nilai, budaya, kebiasaan, pengetahuan, dan pengalaman antara dua orang tidak ada yang sama persis atau cocok 100% . Oleh karena itu, sangatlah wajar jika dalam memilih calon pasangan kita juga memperhatikan latar belakangnya. Semakin jauh atau berbeda latar belakang keduanya, semakin membutuhkan perjuangan ekstra untuk saling memahami dan menerima. Kelonggaran di antara keduanya terhadap hal-hal yang bersifat kecil menjadi salah satu kunci keharmonisan rumah tangga. Janganlah bersikap egois dengan memaksakan pasangan menuruti semua keinginan kita, jangan menyusahkannya, tetapi mudahkanlah ia dalam beradaptasi dengan diri kita.
Setiap orang pasti berbeda, itulah hal yang harus diterima dari pasangan. Nilai, budaya, kebiasaan, pengetahuan, dan pengalaman antara dua orang tidak ada yang sama persis atau cocok 100% . Oleh karena itu, sangatlah wajar jika dalam memilih calon pasangan kita juga memperhatikan latar belakangnya. Semakin jauh atau berbeda latar belakang keduanya, semakin membutuhkan perjuangan ekstra untuk saling memahami dan menerima. Kelonggaran di antara keduanya terhadap hal-hal yang bersifat kecil menjadi salah satu kunci keharmonisan rumah tangga. Janganlah bersikap egois dengan memaksakan pasangan menuruti semua keinginan kita, jangan menyusahkannya, tetapi mudahkanlah ia dalam beradaptasi dengan diri kita.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar". (QS. An-Nisa:34)
Berikut adalah beberapa syarat
terciptanya keharmonisan rumah tangga.
1. Seiman.
Ini adalah syarat pertama menciptakan keharmonisan, juga merupakan syarat
pertama memilih pasangan hidup. Di antara beberapa kategori, agama yang baik
(ditunjukkan dengan akhlak) memiliki nilai yang lebih tinggi, bukan harta,
kedudukan, keturunan, maupun kecantikan/ketampanan fisik. Bagaimana bisa
menjalankan rumah tangga yang selaras jika dalam masalah akidah saja saling
bertentangan. Pasangan sebaiknya memiliki kesamaan ide dan nilai yang dianut. Memiliki
nilai-nilai kuat yang dianut oleh seluruh anggota keluarga.
2. Saling
mencinta. Cinta merupakan unsur yang sangat penting. Sebagian orang mungkin tidak
mempedulikan perihal cinta, mereka yakin bahwa cinta dapat tumbuh setelah
menikah sehingga dengan kepercayaan yang tinggi mereka menerima lamaran dari
lak-laki shaleh meskipun tidak dicintainya sama sekali. Sebagian besar dari
mereka berhasil, cinta tumbuh di tengah perjalanan rumah tangga. Namun, sebagian
kecil ada juga yang tidak berhasil menumbuhkan benih cinta. Saya pernah
mendengar celotehan seorang ustad bahwa sampai sekarang ia tidak merasakan
cinta kepada sang istri, padahal saat itu sudah memiliki tiga orang anak.
MasyaAllah.. bagaimana bisa begitu? Lalu apa yang dilakukan selama ini oleh
ustad tersebut. Apakah hanya sekadar rutinitas demi menjalankan sunah menikah? Subhanallah, berapa banyak orang yang bisa melakukan hal yang sama.
Rasul
sendiri menyarankan seorang sahabat untuk melihat calon pengantinnya agar
timbul rasa cinta. Hal itu tentu mengandung hikmah, yaitu mengikat hati satu
sama lain. Cinta adalah sesuatu yang mampu mengikat dua hati. Cinta adalah
sesuatu yang dapat melunakkan sesuatu yang awalnya keras. Cinta adalah sesuatu
yang membuatmu memaafkan. Dengan menghadirkan cinta di dalam keluarga,
kehidupan akan lebih indah, lembut, dan berwarna.
Bagaimana pun cinta yang paling hakiki adalah
cinta kepada Allah, kemudian cinta kepada Rasul, lalu cinta kepada Jihad. Tidak
ada cinta yang lebih besar dibanding tiga urutan cinta tersebut. Cinta
kita kepada pasangan hanya sebagai penunjang, bukan sebagai pondasi. Ketiga cinta
yang paling utama itulah yang seharusnya menjadi pondasi cinta di keluarga.
3. Saling
percaya. Tentunya kepercayaan timbul dari cerminan akhlak kedua
pasangan dan kekukuhan keduanya dalam menjalankan syariat islam. Seorang istri
yang shalehah adalah seorang wanita yang bisa menyenangkan hati suami di kala
melihatnya, menaati suami, dan memelihara diri dan harta suami di saat suami
tidak ada. Kepercayaan timbul dari
aplikasi kedua terhadap menahan pendangan seperti yang diperintahkan Rasulullah
Saw.
Selain itu, saling percaya juga mengandung makna bahwa istri yakin sepenuhnya bahwa suaminya senantiasa memberikan makanan atau nafkah yang halal. Hal ini akan dicapai dengan saling mengingatkan satu sama lain untuk menjauhi maksiat.
Selain itu, saling percaya juga mengandung makna bahwa istri yakin sepenuhnya bahwa suaminya senantiasa memberikan makanan atau nafkah yang halal. Hal ini akan dicapai dengan saling mengingatkan satu sama lain untuk menjauhi maksiat.
Kehidupan seks yang sehat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu hikmah dari perkawinan adalah penyaluran
kebutuhan biologis yang sehat, sehingga salah satu cara mempertahankan keharmonisan
rumah tangga adalah dengan menjaga kehidupan seks yang sehat. Jadi jangan
sungkan-sungkan bagi seorang istri mempelajari bagaimana kehidupan seks yang
sehat (ini bahasnya lain waktu aja kali ya.. hehhee)
4. Stabilitas ekonomi. Kondisi ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi keharmonisan rumah tangga. Seorang suami dituntut mampu memberikan makanan yang halal, sehat, dan bergizi kepada keluarganya, sehingga ia wajib memiliki pekerjaan atau berpenghasilan. Sudah keharusan seorang suami memberikan yang terbaik bagi keluarganya dan karena itu lah rela bekerja keras seharian. Sementara itu, seorang istri harus pandai mengatur perekonomian keluarga, memanajemen antara pendapatan dan penghasilan. Sekiranya penghasilan belum memadai, bersikaplah sabar dan qanaah sambil mengharap Allah melapangkan rezeki bagi mereka.
5. Kehadiran anak. Tanpa kehidupan rumah tangga akan terasa hambar. Sebaliknya, dengan kehadiran anak, suami-istri akan semakin menyatu terutama mengenai persepsi dan konsep dalam mendidik anak. Namun, tak jarang juga terjadi perselisihan pasangan karena adanya perbedaan penerapan gaya mendidik. Nah. Karena ini lah, pasangan harus sering-sering berbagi mengenai perkembangan dan merencanakan bersama terkait pertumbuhan anak. Tugas membesarkan dan mendidik anak tidak hanya bertumpu pada ibu, tapi juga merupakan tanggung jawab bapak/suami.
6. Hindari pihak ketiga. Hayoo.. belum apa-apa udah ngomongin pihak ketiga. Hehhee.. Maksud pihak ketiga di sini adalah luas, tidak hanya berbicara tentang poligami. Pihak ketiga di sini bisa berarti keluarga dari masing-masing pasangan. Tidak baik mengadukan kejelekan suami di hadapan keluarga atau orang tua kita. Jangan sedikit-sedikit kalau lagi ada masalah minta pulang ke rumah ortu, “Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku”. Selain itu, usahakan agar sesegera mungkin hdiup mandiri, tidak numpang tinggal di pondok mertua indah atau tinggal bersama para ipar. “Seorang raja hanya akan benar-benar menjadi raja di daerah kekuasaannya, jika ia masih tinggal di daerah orang lain dia bukanlah disebut raja”.
7. Komunikasi, bersikap spontan dan terbuka. Pasangan yang bijak akan bersedia mengakui kesalahan dan mengetahui bagaimana berkomunikasi satu terhadap yang lain karena telah mengenal kepribadian masing-masing. Hal ini sering ditunjukkan oleh Aisyah ra., di saat Rasulullah Saw., mulai menunjukkan ketidaksukaan terhadap sesuatu hal, maka Aisyah ra. segera mengalihkan pembicaraan atau dengan teknik bertanya.
8. Saling memuji dan memperhatikan. Sering
memberi pujian kepada pasangan sangat baik untuk menjaga kemesraan. Rasulullah
Saw., memanggil para istrinya dengan sebutan yang baik. Jangan senggan untuk
memanggil dengan panggilan yang mesra dan memberikan pujian. Tidak akan rugi
sama sekali, malah bahkan menyenangkan hati pasangan.
9. Menikmati kebersamaan. Kita semestinya menyediakan
waktu untuk pasangan dan mau menghadiri acara kegiatan anggota keluarga yang
lain. Semua memang butuh pengorbanan. Saya sering mendengar
keluhan para istri yang melihat suaminya tidur-tiduran di rumah sepanjang
liburan, padahal si istri sudah kangen ingin menghabiskan waktu jalan-jalan
berdua saja. Namun, karena alasan capek kerja. Di sini istri harus menghormati
kebutuhan istirahat suamu, dan suami juga harus berkurban sedikit waktu untuk
memuaskan istri dengan menyediakan waktu bersama.
10. Saling memaafkan. Lupakan kesalahan masa lalu
pasangan karena semua orang pasih memiliki cela atau tidak sempurna.
Memaafkannya adalah langkah kita menerima kembali pasangan kita. Jangan marah
di waktu yang sama. Mengalahlah untuk bisa menang. Maksudnya, jika
suami marah, jangan sampai ketika tidur ia masih dalam keadaan marah. Rayuan
akan meluluhkan kemarahannya, jadi berusahalah meredam emosinya. Demikian juga
saat istri marah, jangan sampai menyimpan kemarahan sampai matahari tenggelam.
Segala masalah bisa dibicarakan bersama.
11. Terakhir adalah menerima
kekurangan. Jangan takut menjadi pribadi jujur dan bertanggung jawab. Jika ia
merasa melakukan kesalahan, maka ia akan berani mengatakan “saya salah” dan menerima
jawaban “tidak” dari pasangan terhadap kesalahan kita. TIidak Ada Gading yang
Tak retak!
Demikian sepuluh cara menjaga keharmonisan rumah tangga hingga mampu
menciptakan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah. Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar